Juni Enam

Ada bagian dalam hidup di kala semua kau lalui sendiri. Benar-benar sendiri. Terlepas dari hingar binger manusia. Tersisa Dia yang Maha Kuasa yang tak pernah meninggalkan.

Menangis lah bila kau rasa berat, tak mengapa. Bukan berarti kau cengeng bila menitikan air mata. Karena kau manusia, manusiawi tangisan itu. Hanya saja kau itu lelaki, jangan banyak-banyak menangis. Jadilah lelaki sebenar-benar lelaki. Kelak akan ada bagian dari hidup sendiri ini yang akan kau syukuri. Tak ada yang sia. Ini lah ladang pembelajaran. Seperti kawah candradimuka bagi jabang bayi Tetuka sebelum menjadi Gatotkaca.

Beberapa hal tak kau dapatkan. Beberapa hal lagi pengorbanan!

Sungguh, semua seperti tak terlihat ujung bahagianya. Hanya gelap sepanjang lorong. Tak terlihat jalan keluar. Bahkan udara terasa sesak di sekitar. Bagaimana bisa ujung bahagia itu akan terlihat.

Rindumu menggebu sepanjang waktu. Ditopang luka yang membuatmu bertahan. Karena mereka lah, semangatmu masih bernafas hingga kini. Meski tak jarang kau goyah dan hampir menyerah. Aku tahu, rasa itu menyesak mendesak dan ingin tumpah. Tapi entah kemana akan tercurah. Terhimpit di dunia sendiri yang kejam. Hanya terpekur di penghujung malam. Merajut benang-benang harap yang menghangatkan mimpi. Bilakah esok pagi akan lebih baik? Pertanyaan itu yang selalu mengantarmu lelap setiap harinya.

Tak ada musim bagimu. Panas dingin tak begitu berarti. Seolah mati rasa, kau hanya mencecap rindu yang tak bertuan. Kau melihat mereka datang. Jelas sekali. Tapi mereka tak peduli. Ada jerat pamrih yang membuat mereka mendekat. Kau tahu, tapi tak bisa kau tolak. Karena begitu lah hidup. Belajar bermanfaat tanpa pamrih.

Di penghujung malam, rasa itu masih saja menikam. Biarkan. Kelak pasti akan membuatmu rindu. Sama rindunya seperti malam ini. Rindu dalam bentuk yang lebih baik tentunya. Tak ada lagi malam-malam sendiri.
Previous
Next Post »