Perangai Buruk!

Buruk sekali perangaiku hari ini. Sangat buruk. Kelewat buruk dari hari-hari kemarin. Seperti pendakian yang sudah sampai puncaknya, perangaiku hari ini pun menjadi klimaksnya. Entah apa yang bisa kugambarkan dari semua ini, hanya satu kata yang bisa aku katakan : BURUK!

Susah sekali untuk mendiskripsikan. Bahkan permulaan tulisan ini pun sudah berbicara tentang segala hal yang buruk. Bukan begitu?!

Lalu apa hal buruk itu? Ah ya, sedikit di bawah nanti akan kujelaskan. Kau bersabar lah sedikit (meskipun aku sendiri tidak pandai bersabar, tapi boleh lah aku meminta kau bersabar).

Telingaku berdenging. Hampir seharian aku tidak kemana-mana. Hanya mengurung diri di dalam ruangan. Sejenak keluar membeli makan siang, menjemur pakaian, atau hal remeh temeh demi keperluan pribadiku. Selebihnya aku lebih banyak di dalam ruangan. Melakukan apa pun atau tidak melakukan apa pun sembari mendengarkan musik dari Winamp. Itu lah kenapa telingaku bisa berdenging-denging.

Bosan? Aha, jangan kau tanya. Betapa bosannya aku hari ini. Tapi memang hal ini sudah kuakrabi semenjak dulu aku di Bogor. Aku terbiasa berdiam diri di rumah tak melakukan hal-hal menyenangkan apapun meskipun itu hari libur. Biasanya, alasannya sama. Dari dulu sampai sekarang, alasan yang paling kuat kenapa aku tidak melakukan aktivitas menyenangkan di luar adalah karena uang. Meski tak jarang sebenarnya bukan uang lah penyebab utamanya. Tapi rasa malas yang berlebihan. Rasa yang datanngya dari setan. Tapi nggak enak ah bilang “Malas, malas mulu”. Orang lama-lama bosan juga dengar alasan itu.

Nah, satu sudah bisa kau catat. Hal buruk pertama adalah “MALAS”. Kau tahu, malas adalah hal buruk yang tidak boleh kau dekati sedikitpun. Tapi ini, aku begitu akrabnya dengan rasa malas. Dengan senang hati aku malah memberinya tempat yang nyaman di dalam diriku. Alahmakjang, macam mana pula ini? Tapi memang seperti itulah kenyataannya. Buruk bukan? Sangat buruk, Kawan.

Hemmm. Bersantai-santai. Nah, itu hal keduanya. Benar, hidup memang harus dinikmati. Tapi tidak seharusnya kita membuang semua aktifitas dan berdalih menikmati hidup dengan tidak melakukan apapun. Ini juga sangat buruk. Tak ada hasil yang dicapai tanpa kerja keras. Kalau pun ada, jangan menangis kalau hasilnya sama sekali tidak maksimal. Hal terpenting dalam pertarungan bukan lah kemenangannya bukan? Tapi persiapannya. Siapa yang lebih banyak Persiapannya tentu lah dia yang akan menang. Aku? Apa pula yang sudah kupersiapkan.

Jadi teringat dengan Novel Miyamoto Musashi yang belum aku selesaikan membacanya. Musashi adalah seorang penduduk kampung biasa di sebuah perkampungan di Jepang. Ketika itu, di Jepang sedang terjadi pergolakan. Kekaisaran membutuhkan banyak prajurit untuk menghadapi pertempuran. Mendaftar lah Musashi dan salah seorang sahabatnya, (tapi saya lupa siapa namanya) menjadi tentara. Berharap dia dapat imbalan yang layak dari menjadi seorang prajurit. Tapi naas, pasukan mereka kalah telak. Pasukan kocar-kacir berantakan. Beruntung Musashi dan kawannya diselamatkan warga setempat. Singkat cerita, Musashi bertekad pulang dan belajar untuk menjadi seorang petarung yang hebat, sementara sahabat dekatnya malah terpincut dengan wanita yang merawatnya. Padahal, sahabat dekatnya sudah punya tunangan dan menunggunya di kampung mereka untuk melangsungkan pernikahan. Berselang berapa tahun, Musashi benar-benar menjadi seorang petarung yang hebat. Dia belajar dan mencari guru hingga pelosok Jepang. Semua didatanginya demi sebuah tekad untuk menjadi seorang petarung yang hebat. Seperti apa nasib sahabatnya? Ah, sungguh kasihan sekali sahabatnya ini. Dia nelangsa. Kerjanya hanya mabuk yang setiap hari. Dia tak melakukan apapun selama bertahun-tahun. Hanya mabuk dan mabuk setiap hari. Membuat repot wanita yang dulu menolongnya.

Apa hubungannya? Sudah jelas sekali bukan? Persiapan itu sangat penting. Jadi apa kau kelak, sangat bergantung sejauh mana engkau mempersiapkannya. Bandingakan antara Musashi dengan sahabatnya beberapa tahun kemudian. Jauh sekali bukan. Mereka sama-sama dimulai dari nol. Tapi yang satu sudah melesat jauh, sementara yang satu tak beranjak kemana-mana. Disitu-situ saja. itu karena faktor persiapannya. Musashi bekerja keras mempersiapkan diri untuk menjadi petarung hebat dengan belajar kemana-mana. Sementara yang satu hanya mabuk dan mabuk setiap hari.

Catat! yang ketiga adalah menyepelekan waktu luang. Ini juga (lagi-lagi) buruk. Aku harus jujur. Sebenarnya aku tak mau jadi seperti ini. Tapi ini lah kenyataanya. Aku harus jujur dulu sebelum mengevaluasi semua. Ini jauh lebih baik daripada aku berkelit dan bilang “Aku nggak seperti itu kok”. Ah, buruk kawan!

Jadi teringat lagi dengan tulisanku beberapa hari yang lalu. Tentang Idealisme. Benar sekali, aku punya mimpi-mimpi yang idelalis. Tapi sayang, aku tak punya pijakan prinsipil. Coba akhir-akhir ini kau tengok FB-nya Tere Liye, betapa dia begitu teguh dengan prinsipnya. Bisa berkata A ya A, B ya B. Memang terkesan kasar dan tak perduli perasaan orang lain. Tapi begitu lah perangainya. Mungkin memang cara penyampainnya bisa diperhalus, tapi yang perlu ditekankan adalah konsistennya dia dengan prinsip-prinsip yang di pegang. Sementara aku? Ah, seperti seonggok berak yang terombang-ambing arus. Tak enak dipandang mata dan lama kelamaan pudar sendiri tak punya arah.

Jadi seharusnya, setelah kita mau diinstropeksi, skip kata-kata penolakan. Kalau memang salah mengaku saja salah. “Iya, aku salah”, karena kedengarannya itu lebih gentle daripada terus-terusan bilang “Aku nggak seperti itu kok”. Setelah menerima dengan benar, mari dibenahi sebaik-baiknya. Buat pegangan yang benar dan jaga itu. Kalau sudah yakin itu benar, jaga terus jangan sampai lepas. Apapun yang terjadi. Sekuat apapun arus menarik kita. Bilang dengan tegas “TIDAK!” kalau itu bertentangan.

Miris dengan diri sendiri, dengan lingkungan juga. Betapa benar itu diukur dari jumlah banyak. Bukan dari essensi kebenaran itu sendiri. Tentu masih hangat dalam benak kita, betapa sebuah keluarga di Surabaya di usir dari rumahnya karena melaporkan kasus nyontek masal. Warga setempat tidak mau menerima keluarga itu lagi di kampung mereka. Sungguh ironis, mana yang benar mana yang salah. Cerita-cerita film superhero waktu saya masih kecil ternyata salah. Kebenaran tidak selalu mengalahkan kejahatan. (Lebih ironis lagi, saya menulis itu tidak tersentuh sedikit pun).

Kalau sudah seperti ini, pasti masih bingung kalau ditanya “Mau dibawa kemana hidupmu ini?”. Apalagi ditambah pertanyaan “Prinsip seperti apa yang kau pegang?”

Ah, aku jadi merasa seperti bangkai berjalan. Punya otak tapi tak berguna. Punya akal tapi tak pernah berpikir. Punya hati tapi tak merasa. Hidup hanya sebatas diri sendiri. Perut, syahwat dan hura-hura.

Memang perlu dipertanyakan. Makanya sudah aku bilang dari awal, Kawan. Buruk sekali perangaiku hari ini. Sudah mencapai puncak tertinggi…
Previous
Next Post »