Tentang Rasa


“Dan, memang harus seperti inilah ceritanya. Kau bahagia, dia bahagia, dan aku pun juga harus belajar untuk bahagia. Karena bahagia itu bukan apa atau untuk siapa, atau pun dimana, bahagia itu sudah ada dan selalu menyertai kita, karena bahagia itu disini letaknya, di hati kita” Adrian tersenyum simpul, menunjuk dadanya.
Rintik hujan membungkus ibukota. Deru deram kendaraan masih saja memenuhi jalan raya. Semakin macet parah, genangan juga makin banyak. Adrian duduk di kursi berhadapan dengan Shanti, di salah satu rumah makan di daerah Jakarta Barat.
Bagaimanapun, perasaan tidak bisa dipaksakan. Ada orang yang berjodoh menjadi kekasih, tapi ada juga yang tidak. Bisa jadi hanya sebatas berjodoh menjadi seorang sahabat atau sekadar teman main. Kita tak pernah tahu, hingga tiba waktunya kita menjalani semua itu. Atau perasaan yang satu tak sama dengan yang lain, sementara yang satu mengganggap itu cinta, yang satunya lagi hanya merasa sebagai teman biasa. Hal yang jamak terjadi dalam hubungan lawan jenis.
Disini sekarang posisi Adrian. Hatinya dua tahun terakhir mengakar kuat, mencintai satu wanita saja : SHANTI. Tidak pernah ada yang lain selama dua tahun ini. Bahkan hanya sekedar keisengan seorang lelaki pun tak pernah terlintas. Mungkin, seperti inilah yang dibilang cinta sejati. Atau hanya taklid buta seorang Adrian pada seorang hawa? Tak terlalu penting semua itu.
Kilat menyambar-nyambar, sejenak langit begitu terang oleh cahaya. Ribuan larik hujan berkejaran menciumi bumi. Menunaikan tugas mulia untuk memberi minum jutaan makhluk di bawah kolong langit. Sepertinya hujan masih akan lama. Dan jalanan tentu akan lama pula macetnya.
“Tapi kamu nggak kecewa, Ndri?”
Nyilu Shanti menatap sahabatnya ini. Tak pernah tahu bahwa Andrian selama ini memendam rasa begitu dalam padanya. Dipikirnya, segala yang dilakukan Andrian memang sebuah rasa yang murni datang dari seorang sahabat. Tak lebih.
“Sebuah pertanyaan yang tak perlu jawaban, Shan”
“Tapi,,, kenapa?”
“Ah, kalau tahu, tentu aku akan menjawabnya. Dan jauh-jauh hari sudah kubuang semua perasaan ini. Sebelum semua mengakar kuat dan benar-benar terlambat seperti sekarang ini. Tapi sayang, semua tidak sesimple itu”
Andrian mencoba menahan gelegak dalam hatinya. Gelegak yang Seperti gelombang tinggi yang ingin menelan daratan.  Aku tak akan menangis, tak perlu semua ini. Batinnya.
“Semua datang dengan sendirinya, Shan. Hanya itu yang bisa kukatakan”
Gelegar guntur memekakkan telinga. Kilatan cahaya memancar di langit Jakarta. Sejenak memberi jeda Andrian untuk kembali menata hati. Tak mudah untuknya menuangkan luka dalam hatinya lewat ucapan. Terlebih, kepada orang yang dicintainya.
“Perasaan itu tak bisa dipaksakan, Shan. Aku sangat tahu itu. Jadi, tak perlu rasanya kau menangis atau menyesali segala persahabatan yang indah di antara kita”
“Tapi aku telah menyakitimu?”
Shanti hampir menangis, denting kaca mulai keluar di sudut matanya.
“Itu beda! Aku mencintaimu, dan persahabatan di antara kita itu adalah dua hal yang berbeda. Aku menyimpannya juga dalam tempat yang berbeda di dalam labirin hatiku. persahabatan kita adalah sebuah persahabatan yang sangat-sangat indah, jalinan yang takkan mungkin aku lupakan. Itu satu hal, dan aku mencintaimu, itu juga sebuah anugerah yang indah, seperti apapun hasil akhirnya. Dan itu hal yang lainnya lagi. Janganlah kau campuradukkan dua hal ini”
Shanti sempurna menangis demi mendengar kata-kata Andrian. Hati yang tulus. Meski, undangan pernikahannya baru saja dia angsurkan untuk Andrian. Nama yang tertulis disana adalah namanya dan nama orang lain. Bukan nama Andrian.  Orang yang selama ini benar-benar mencintainya dengan tulus.
Ah, perasaan memang tak pernah bisa dipaksakan. Jodoh mungkin untuk jadi seorang sahabat, tapi entah untuk hubungan yang lebih. Dan malam itu, mereka menutup percakapan mereka dengan rutinitas seperti biasa. Dua cangkir cappuccino!
Meski dalam hatinya, Andrian bertanya-tanya, siapakah gerangan yang telah memberitahu perihal perasaanya kepada Shanti. Selama ini dia selalu menutup rapat semua perasaan itu, tak ada orang yang dia beritahu. Bahkan ibunya, orang yang paling mengerti Andrian pun, segalanya, luar dalam, tak pernah ia beri tahu. Tapi Andrian tak mau ambil pusing. Apapun hasil akhirnya, toh hidup harus tetap berjalan.
Previous
Next Post »