Sebelas Patriot



Baru saja menyelesaikan membaca novel Sebelas Patriot-nya Andrea Hirata. Hemmm, ini novel apa novelet ya? Soalnya, halamannya terlalu tipis untuk dibilang novel. Hehe.

Apalah! terserah ente pada mau bilang ini novel apa novelet. Kalau menurut penulisnya sendiri, Si Pak Cik Ikal, ini namanya novel, Boy! Bukan novelet kaya pendapat gw. :D

Sedikit gw mau ngereview (cailah, bahasanya coy, ngereview) haha, ya udah, sedikit gw mau berkomentar soal novel ini. Boleh kan? Kalau nggak boleh, gw paksa untuk dibolehin. Hehe.

Novel ini intinya bercerita tentang sepakbola. Dimana, ternyata dibalik seorang ayahnya Ikal yang pendiam dan sangat-sangat bersahaja, tersimpan sebuah rahasia bahwa ayahnya dulu pernah menjadi pemain bola yang handal. Pemain sayap kiri yang sangat dikagumi kawan dan ditakuti lawan. Pelari yang handal bak menjangan yang selalu membuat kocar-kacir pemain defender musuh.

Ikal kecil tahu rahasia itu dari sebuah poto usang yang ada di album foto yang tersimpan rapi di atas lemari. Foto hitam putih bergambar seorang pria yang dengan gagah memegang piala. Meski Ikal tak mengenali pria yang ada di foto itu, tapi Ikal bisa merasakan bahwa orang yang di foto itu adalah seorang pria yang hebat.

Setelah bertanya kesana kemari, mencari informasi tenang siapa lelaki yang ada foto itu, tahu lah Ikal bahwa orang yang ada di foto itu tak lain dan tak bukan adalah foto ayahnya sendiri. Dan tahu juga ia, ternyata dibalik foto itu tersimpan kisah pahit tentang ayahnya. Tentang mimpi untuk menjadi pemain sepak bola yang tak terwujud. Tentang kepahitan hidup yang selama ini tak pernah diceritakan oleh ayahnya. Itulah sebabnya, kenapa selama ini ibundanya tak pernah mengizinkan Ikal untuk melihat-lihat album foto itu.

Diceritakan, Ayah Ikal tumbuh di masa kolonial penjajahan Belanda. Ayah Ikal dan kedua kakaknya yang waktu itu baru berumur 13, 15 dan 16 dijemput paksa oleh tentara Belanda untuk menjadi pekerja rodi menggantikan ayah mereka yang sudah renta. Tidak ada pilihan pada waktu itu. Menurut saja menjadi pekerja rodi, atau melawan tapi mati disiksa di tangsi oleh pasukan Belanda.

Resmi lah ayah dan kedua kakak ayahnya menjadi pekerja rodi di parit pertambangan timah. Menjadi budak di negeri sendiri yang sedang terjajah.

#laperrrrrrrrrrrrrrrrrrr# Sori selingan, perut gw mulai berkeroncong ria nih. Hehe.

Di tempat pertambangan itu, satu-satunya hiburan bagi para pekerja adalah perlombaan olahraga bagi para pekerja. Sebenarnya hal ini tidak murni pertandingan olahraga semata, tapi juga merupakan perayaan bagi hari lahir ratu Belanda. Ratu dari Negara penjajah, dan rakyat terjajah itu dipaksa untuk merayakannya. Lagi-lagi tidak ada pilihan, kalau tidak mau berakhir di tangsi. Dalam pertandingan, terkadang pekerja melawan sesame pekerja, tapi terkadang juga pekerja melawan para amtendar Belanda. Dan ada satu hukum tak tertulis yang harus dipatuhi, pekerja tidak boleh menang melawan Belanda. Apapun itu. Biar pun hebat, biar sejago apapun, tapi ketika menghadapi pemain Belanda, pemain pekerja harus mengalah. Kalau tidak, lagi-lagi nasibnya akan berakhir di tangsi.

Ada berbagai macam perlombaan olahraga yang dipertandingkan, salah satunya adalah pertandingan sepak bola. Rupa-rupanya, ayahnya Ikal dan kedua kakaknya mempunyai bakat alami bermain sepak bola. Dari pertandingan ke pertandingan, ketiga saudara ini selalu memukau penonton. Mereka secara cepat menjadi bintang lapangan. Di lapangan itu pula lah mereka bisa mengekspresikan diri tanpa merasa dijajah. Tapi lagi-lagi merujuk aturan tidak tertulis di atas, tim-tim pekerja tidak boleh menang melawan tim Belanda. Akibatnya, setiap pertandingan melawan Belanda, tiga bersaudara ini tidak diturunkan. Karena ketika mereka diturunkan, tentunya akan dengan mudah tim Belanda itu dikalahkan. Bahkan, demi alasan keberlangsungan penjajahan Belanda, tiga bersaudara ini dilarang bermain. Dikhawatirkan, semangat ketiga bersaudara ini di lapangan bisa menyulut semangat pekerja-pekerja yang lain, yang akan menimbulkan pemberontakan.

Padamlah asa ketiga saudara ini. Dari pertandingan ke pertandingan mereka hanya dibangkucadangkan. Menjadi penonton di pinggir lapangan. Hingga pada akhirnya, saat pertandingan melawan Belanda, ketiga bersaudara ini nekat ikut bertanding. Kaki mereka tak bisa diam melihat bola menggelinding di lapangan. Dan benar, tim pekerja menang melawan Belanda. Tiga bersaudara ini bahu-membahu melawan tim Belanda. Gol satu-satunya diceploskan ke gawang tim Belanda oleh ayah Ikal.

Hingga pertandingan berakhir tim-tim Belanda tidak bisa membalas. Sorak sorai lah para pekerja ini. Mereka berlari ke tengah lapangan sambil berteriak “Indonesia, Indonesia, Indonesia”. Ayah Ikal tentu yang paling semangat, hingga dia tak bisa berhenti untuk berteriak “Indonesia, Indonesia, Indonesia”. Tapi fatal akibatnya, seusai pertandingan, tiga bersaudara beserta pelatih dipanggil Belanda ke tangsi. Mereka disiksa tanpa ampun. Keluar-keluar dari tangsi mereka babak belur. Dan yang paling buruk keadaannya adalah ayahnya Ikal. Tempurung kakinya pecah. Dia terhuyung berjalan disambut oleh pekerja lain. Dari saat itu, ayahnya Ikal tak pernah bisa lagi main sepak bola. Tak pernah!

Demi mengetahui cerita ini, Ikal kecil menorehkan mimpi dalam hatinya : MENJADI PEMAIN PSSI JUNIOR!

Semua itu dilakukan hanya untuk ayahnya. Tidak lain. Dia berusaha sekuat mungkin. Tak kenal menyerah. Setiap kali akan menyerah, dia selalu memandangi foto ayahnya. Ingat akan cerita ayahnya. Serta merta, semangatnya bangkit kembali. Dia akan mewujudkan mimpi ayahnya yang dengan semena-mena direbut Belanda!

Dan cerita berfokus pada usaha Ikal untuk membuat ayahnya bangga. Sebenarnya Ikal hampir sukses menjadi pemain PSSI Junior. Hampir. Karena tinggal satu langkah lagi Ikal masuk di Timnas Junior. Tapi sayang, Ikal gagal di seleksi tingkat provinsi. Beberapa kali Ikal terus mencoba, Ikal tetap gagal juga. Ikal bersedih, tapi sungguh benar ayahnya adalah ayah terbaik di seluruh dunia. Dengan tersenyum ayahnya bilang “Aih, janganlah risau, Bujang, tak apa-apa, hanyalah sepak bola, janganlah risau”.

Keseluruhan cerita memang khas Andrea Hirata. Menertawakan kegeterian hidupnya sendiri. Cara yang unik (menurut gw) dalam menghadapi “kegagalan”. Kuranganya mungkin adalah di halamannya yang terlalu tipis, sehingga Andrea Hirata tidak maksimal dalam bercerita. Tidak seperti di novel-novel sebelumnya.

“Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya”

Lelaki kurus tadi, yang sehari-hari berdagang asong di gerbong kereta listrik Bogor-Jakarta. menabung lama demi membeli tiket menonton PSSI sampai habis suaranya, hingga peluit panjang dibunyikan, adalah keikhlasan. Para pemain menunduk untuk berdoa adalah agama. Penjaga gawang memeluk tianga gawang sebelum bertanding adalah budaya. Ratusan moncong kamera yang membidik lapangan adalah sejarah. Ayah yang membawa anak-anaknya untuk menonton bola adalah cinta. bocah-bocah murid SD Inpres di pinggiran Bekasi yang patungan untuk menyewa angkot, berdesak-desakan di dalam mobil omprengan demi mendukung PSSI adalah patriotisme. Catatan skor pda papan elektronik raksasa yang ditatap dengan perasaan senang yang meluap-luap atau kecemasan yang tak terperikan adalah sastra yang tak ada bandingnya. Menjadi penggila bola berarti menjadi bagian dari keajaiban peradaban manusia.
Previous
Next Post »