Malem (Bukan Malam!)


                Malem-malem nggak jelas. Merindukan hal-hal yang luput. Yang sekarang menguap entah kemana. Dulu, aku sering bertanya, tanya apa saja. Dulu aku sering meprotes, protes apa saja. Dari yang tidak penting sampai tidak penting sekali. Segala hal remeh temeh, sekedar memuaskan rasa penasaran dalam diri. Namun, semua seperti menyublim begitu saja, hilang bentuk. Aku tak lagi bertanya, aku tak lagi memprotes, aku tak lagi rebel. Tak lagi rebel, tapi tak juga mapan. Rasa-rasanya semua serba tanggung. Ampang, atau entah apalah istilahnya.
                Merindukan “kitab coklat” yang sering kuajak berdebat, sering kusiksa dengan keluhan tak berkesudahan, dan sering pula menemaniku termehek-mehek. Benar memang, segala sesuatunya berubah. Kita kehendaki atau pun tidak. Ini sebuah keniscayaan. Tapi aku rasa, ada hal yang luput dariku. Entah apa itu. Barangkali karena aku yang tak mengikuti perubahan? Ah, bisa jadi seperti itu. Tapi bisa juga tidak!
                Absurd.
                Sebuah tanya tak berjawab. Biar lah esok pagi semua tertinggal menjadi bunga tidur. Ditimbun oleh kesibukan dan kepenatan ibukota yang tak ada habisnya. Mungkin, lusa aku akan menanyakan seperti ini lagi. Dan lagi-lagi, akan tertinggal menjadi bunga tidur. Berputar terus saja seperti itu.

                Bung Chairil, hendak aku tanya kau malam ini. Apa yang membuat kau menulis puisi ini?
               
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

Ah, tak jadi lah, Bung. Tak usah kau jawab. Aku saja yang terlalu, Bodoh. Senyata itu tak kumengerti. Lebih baik aku tidur saja, besok juga aku tak ingat apa-apa.
Previous
Next Post »