Supri & Sang Majikan


                Sore yang melelahkan bagi Supri. Motor Honda keluaran tahun 2004 itu. Sudah seharian ini dia tidak istirahat. Mondar-mandir menciumi aspal Jakarta yang hampir meleleh. Entah bagaimana caranya dia berisitrahat. Baru isitrahat sejenak di parkiran, majikannya sudah dengan semangatnya menginjak pedal starternya. Satu-dua-tiga selah, dan brum-brum-brummm, dia harus menggerung-gerung lagi. Tombol starternya yang rusak berbulan-bulan tak kunjung dibenahi. Padahal itu bisa mengurangi sedikit beban kerjanya daripada harus lewat starter kaki. Ah, manusia kejam! Supri mendengus kesal, dan berlari mengikuti tarikan gas sang majikan.
                Jalan S.Parman sudah terlewat beberapa menit yang lalu. Serta merta debu dan panas yang bercampur hinggap di badan Supri. Supri risih sebenarnya. Tapi apa mau dikata, majikannya yang jarang peduli ini tidak pernah memperhatikan penampilannya. Lumpur-lumpur yang sudah mengering dibawah dasbhoardnya tak kunjung disemprot dengan air. Paling sebulan sekali si Supri dimanja di tempat steam ecek-ecek di pinggir jalan. Akibatnya, setiap membelah jalanan Jakarta, mata-mata kendaraan lain memandangnya dengan risih&iba. Risih dengan penampilannya, iba karena tidak diperhatikan. Sudah menjadi rahasia umum dunia permotoran, orang-orang berpenampilan seperti Supri adalah orang yang malang. Mendapat majikan yang hanya memanfaatkannya tanpa rasa sayang.
                Seperti beberapa hari yang lalu, saat mengobrol asyik dengan Satria, motor yang lebih tua dari Supri. Dia mengeluh kepada Supri kalau majikannya bar-bar. Menggantungkannya dengan semena-mena. Tidak dipakai, tapi tidak dijual juga. Akibatnya, dia mengalami korosi di organ-organ tubuhnya. Tubuhnya bulukan penuh dengan debu. Dia tidak pernah kena air, kalaupun ketemu air, dia ketemunya sama air hujan, yang membuat korosi organnya menjadi lebih buruk. Pernah suatu ketika ada orang yang menawar dirinya, tapi dengan santainya sang majikan bilang “Tidak dijual, Mas”. Padahal dia sangat ingin sekali berganti majikan. Biar bisa lebih diperhatikan. Upayanya bergaya di depan calon pembeli pun pupus. Lagi-lagi dia hanya dicuekin di pojokan tempat parkir. Dia mendapat jatah di pakai dan di lap sekenanya, paling banyak sebulan sekali. Itu pun kalau Si Ninja Biru sedang tidak bisa dipakai. Dia hanya pemain pelapis Si Ninja Biru kalau sedang cidera. Satria mafhum, Ninja Biru lebih macho dan lebih muda dari dirinya. Supri hanya manggut-manggut, tidak berkata apa-apa. Satria nasibnya lebih buruk dari dirinya. Meski tidak dirawat, setidaknya dia masih diturunkan rutin menjadi pemain inti. Adlm hati dia berdoa banyak-banyak, semoga tidak mengalami nasib buruk seperti Satria.
                Tahu-tahu Supri sudah mejeng di Jl. Gatot Subroto. Berjejal diantara ribuan warga motor lainnya yang sedang menunaikan tugas sama seperti dirinya. Dibawah kekang kendali sang majikan masing-masing. Supri masih belum tahu, majikannya hendak kemana. Tapi demi kebaikan, dia menurut saja. Memberikan pelayanan terbaik kepada sang majikan.
*****
                Supri sudah kembali di parkiran kantor sang majikan. Setelah membelah Slipi, Gatot Subroto trus ke Dewi Sartika, majikannya menggebernya lagi balik ke Grogol. Hanya beberapa menit saja dia menunggu. Dia tidak tahu, ada urusan apa sang majikan pergi ke Dewi Sartika. Itu bukan urusannya. Kewajibannya hanyalah memberikan pelayanan terbaik.
                Di parkiran, lagi-lagi ditemuinya Si Satria masih saja di pojokan.
                “Eh, Sat. Gimana kabar hari ini?”
                “Masih sama aja, Pri. Majikanku kemana-mana masih pake si Ninja Biru. Apalagi sekarang pacarnya baru, mungkin biar penampilannya lebih macho kali di depan pacar”
                “Oooo,,,mungkin”
                “Kamu gimana kabarnya, Pri?”
                “Yaaaa, tidak beda lah sama kamu. Hanya saja, aku masih menjadi pilihan pertama”
                “Iya sih,,,”
                Dari pintu depan, majikan Si Supri lagi-lagi mengahampirinya. Supri mendengus lagi. Majikannya ini memang tidak memikirkan persaannya.
                “Sepertinya aku bakal di siksa lagi nih, Sat”
                “Sepertinya begitu, Pri. Tapi ngga’ papa lah, daripada kamu mengalami nasib kayak aku”
                “Yaaa, tapi kalau tanpa istirahat begini, capek juga aku. Ini aja belum habis ngos-ngosannya kok”
                Belum selesai pembicaraan mereka, majikannya sudah keburu menggenjot starter kakinya. Supri menggerung pelan. Kali ini akan lebih buruk daripada ke Dewi Sartika tadi. Dibelakang sang majikan, berdiri cewek dengan  berat badan yang sebelas dua bela dengan majikannya. Supri sudah bisa membayangkan seperti apa nanti perjuangannya membelah Jakarta. Seperti mengangkut dua kintal karung beras. Dan Bremmmm, tak butuh waktu lama, tali gas yang ditarik majikannya membawa Supri kembali menciumi aspal Jakarta.
                Kali ini, meski berat, Supri tidak terlalu lama bercumbu dengan aspal hitam yang panas. Menyusuri jalan Daan Mogot, menikung di sebuah gang di pinggiran kali, dan kemudian Supri mendarat di sebuah halaman parkir dealer motor di dekat Pasar Kopro. Dilihatnya klan warganya berderet indah di belakang kaca etalase. Itulah para penerusnya, dengan usia yang lebih muda, dan dengan teknologi yang lebih mumpuni dari dirinya.
                Supri hanya tersenyum. Motor-motor di dalam dealer yang melihat seniornya tersenyum, membalas senyum itu. Dalam hati si Supri, dia ingin lagi seperti junior-juniornya yang terkurung di dalam etalase itu. Setiap hari di lap biar menarik. Setiap hari dicek, kalau-kalau ada kesalahan. Setiap hari di ruangan dingin, tak pernah menjajak aspal hitam panas Jakarta. Tak pernah digigit panasnya udara Jakarta. Tapi hatinya dulu berontak, bosan dengan rutinitas itu. Dia merindukan kebebasan. Dia ingin seperti senior-seniornya terdahulu, yang nampak gagah melintas di depan dealer yang merawatnya dulu. Dia ingin merasakan ciuman pertama dengan aspal jalan raya, dia mendamba ditariak maksimal di kabel gasnya, dia mendamba dimodif biar lebih cantik dari tampilannya pertama, dia ingin membuktikan eksistensinya.
Namun ternyata, kenyataan tak seindah yang dia bayangkan. Tak semua yang dia lihat dulu benar adanya. Itu hanya imajinasi dia saja. Dulu dia berpikir, kenapa senior-seniornya yang melintas di depan dealer dia ajak tersenyum, tidak ada yang menyahut senyumnya. Mungkin karena mereka merasakan hal yang sama, seperti yang ia rasakan sekarang. Tapi apa hendak dikata? Mereka tak punya pilihan. Mereka hanya menunggu waktu, seperti junior-junior yang ada dihadapannya sekarang. Mereka menunggu waktu.
Supri terbangun dari lamunan. Selahan kasar dari sang majikan memercik bunga api dibadannya. Tarikan gas yang kasar pula, memaksanya menyelip di antara keriuhan kemacetan. Beban seberat beras dua kuintal seketika menimpa badannya. Supri ngos-ngosan, tapi tak bisa melawan. Memang inilah takdirnya. Hujan rintik-rintik yang tercurah dari langit, menciumi tubuh Supri. Basah. Lama-lama semakin basah. Supri menerobos genangan. Supri terhujam dikubangan. Supri melalui semuanya. Inilah takdirku.
Previous
Next Post »