Jadul Time

                Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut senanglah hati. Begitu selalu kata ibu guru bahasa Indonesiaku semasa SMA dulu. Sehabis jam istirahat, memulai pelajaran baru dengan mata berbinar cerah ceria, karena perutnya penuh dengan  karbohidrat. Tapi tidak semua cerah ceria, ada juga yang ngantuk berat seperti diriku. Setelah istirahat jam kedua selesai, terik siang berpadu dengan kenyang, beraksi menjadi rasa kantuk yang sulit dihalau datangnya. Dan biasanya, aku dan teman-teman tukang tidur, tidak membutuhkan waktu lama untuk takluk dalam pelukannya. Hanya dalam hitungan satu, dua, tiga dan tertidur pulas. Tanpa komando dari seorang hypnosis seperti Romi Rafael pun, kami semakin dalam masuk ke alam tidur kami masing-masing. Kami hanya menunggu, menunggu bel pulang sekolah berbunyi, atau kalau sedang apesnya, menunggu sebuah penggaris panjang dari kayu cokelat menggelepar hebat di atas meja kami. Membuat kami kaget sekaget-kagetnya. Tersadar seketika dari alam mimpi, dengan cairan meleleh kemana-mana dari pipi kami. Itu tandanya tidur kami belum direstui oleh guru pengajar kelas. Dan kemudian nasib kami berada di tangan guru kelas. Bisa saja kami diampunkan tanpa hukuman sama sekali, bisa juga skorsing menanti di kartu pelanggaran.
                Itu sudah hitungan beberapa tahun berlalu. Sudah ratusan hitungan bulan, ribuan hitungan hari, ratusan ribu hitungan jam, dan bisa jadi jutaan hitungan detik. Kenapa masih saja terkenang setelah sekian lamanya berlalu? Karena yang berlalu itu bermakna! Bisa jadi, yang terjadi beberapa menit lalu, atau beberapa jam, atau beberapa hari, tidak lagi kita ingat, karena bagi kita itu tidak terlalu penting. Kalaupun penting, klasifikasi pentingnya masih berada di kasta bawah. Masih kalah dengan antrian-antrian di depan.
                Menjelang pagi yang baru datang, mataku sudah lengket. Pandangan mulai kabur, bayangan-bayangan menggelayut di depan lensa mata. Tulisan yang tadinya jelas, sekarang membayang kemana-mana. Menjadi dua, tiga, empat hingga tak nampak sama sekali. Pertanda kalau fisik ini perlu diistirahatkan. Tulang belakang butuh sejenak direbahkan. Tidak melulu mengejar dunia yang tak pernah berhenti dikejar. Memenuhi ingin yang tak pernah terpuaskan. Belajar berkata : CUKUP, dan mulai berdamai dengan keadaan. Bukan berhenti bermimpinya, tapi berhenti mengeluh. Sejenak merenung, kemudian mengeja huruf demi huruf penyusun kata syukur. Melafadzkannya huruf demi huruf. Dari pelan ke cepat. Mengingatnya, melekatkan kuat di alam bawah sadar. Dan biarkan kata itu terus menerus menghantui proses hidup kita. Karena itulah nantinya yang akan menetralisir dirimu ketika lelah larut dalam dunia fana yang tak bertepi. Menolongmu ketika jatuh bergelimang tak tentu dalam ingin yang sekaan tak pernah terpuaskan.
                Kantuk semakin menjadi. Sementara kewajiban belum tertunaikan. Bibir bisu itu mengutarakan kalimat perintah dengan sangat lantang : SELESAIKAN KAMI!!! Tidak ada pilihan mundur. Atau semua akan terhapus, dan susah untuk menaruh puing-puing itu dalam wadah yang sama. Entahlah! Aku sudah menguap berkali-kali. Puluhan-ratusan. Fisik, pikir dan hati yang tak sejalan. Perlu rundingan agar mau berdamai dengan segala sesuatunya. Dan kantuk memenangkan rundinganya ini, HOAMMMM.
Previous
Next Post »