Aku dan Kompi


Perutnya semakin buncit. Dia menunduk ke bawah, memandang lengkungan yang semakin membesar seperti perut ibu hamil, dielusnya pelan seperti seorang ibu mengelus kandungan pertama kalinya, dan dia menggeleng. Ini sudah kronis. Pantesan teman-teman sepermainannya sekarang memanggil namanya bukan lagi BUDI, tapi GENDUT. Kalaupun ada yang memanggil BUDI, dibelakangnya pasti ada embel-embel GENDUT. Huh, menyebalkan! Memangnya siapa juga yang pengen gendut? Kalau boleh meminta, tentu saja Budi nggak pengen jadi Budi Gendut yang memang gendut. Dia pasti minta dirinya bisa seperti Bondan Prakoso, artis idamananya dari dulu, dari dulu kecil hingga “besar” seperti sekarang. Siapa yang tidak mau, bisa loncat-loncat di pinggir tebing, dengan jaket kulit hitam, setelan seragam ABRI doreng, dan baret hitam menggantung di kepala, sambil nyanyi “Lumba-lumba, heii, heiii. Makan dulu, heii, heiii”. Ah, keren sekali pasti.

Alunan musik dengan kata-kata asing mengalun dari beberapa jam yang lalu. Pria itu asyik menikmati irama dari lagu yang disuguhkan. Meski, dia sendiri kadang tidak paham dengan makna lagunya. Tapi dia tetap asik saja. Karena ada satu hal yang dia tahu, sedikit banyak suara dan irama bisa menunjukkan ekspresi dari lagu. Misalkan saja musiknya catchy dengan irama riang, dan mengajaknya untuk menggoyangkan badannya, pasti lagu ini lagu tentang kegembiraan. Atau lagu yang mendayu dengan suara yang menyayat, ah, pasti itu lagu tentang rasa sedih. Entah kecewa, patah hati, kehilangan dan sejenisnya. Atau lagu yang kadang teriak-teriak tidak karuan, dengan nada tinggi dan scream­-scream yang,,, yaaaa, begitu deh, pasti itu lagu tentang ngamuk-ngamuk dan gundah gulana. Anak cabang dari galau.

Begitu juga dengan Budi Gendut hari ini. Bergoyang-goyang, mengangguk-angguk, dan menikmati musik yang mengalun. Gelas kopinya tinggal separo, matanya masih lancer menajamkan penglihatan. Hanya lehernya yang sedikit komplain, lelah dan pegal-pegal. Jari-jarinya masih asyik menari-nari di tuts-tuts keyboard. Mencari-cari, dimana yang harus dirubah, mana yang harus dihapus, dan mana yang harus dirombak total. Dia masih setia, menatapi layar monitor SyncMaster 551v yang dia beri nama Si Moni. Si Moni kelihatan sudah kelelahan, tapi tidak nampak tanda-tanda protes. Dia sama setianya kayak si Budi nggak pake gendut, yang rajin lembur akhir-akhir ini. Bukan Budi udah ngga’ gendut lagi, tapi Moni ngga’ mau bilang kalau Budi itu gendut. Karena buatnya badan Budi itu biasa saja. Moni merasa, body Budi masih lebih baik dibandingkan dengan bodynya sendiri, yang cuma kotak dengan tonjolan memanjang ke belakang. Meski bulat, badan Budi masih berbentuk dan ada seni artistiknya disana. Belum lagi bisa diubah-ubah dengan program yang baik dan benar. Tidak seperti dirinya yang kotak permanen.

Moni : Budiiii, yang semangat ya!!! Moni rela kok nemenin Budi lembur-lembur sampe malem. Asal TA Budi bisa segera selesai.

Budi : Iya, Moniiii. Makasih ya kamu udah mau nemenin aku *ngelus-ngelus sudut lancip Moni*

Moni : Iya, Budi. Moni yakin, pasti Budi bisa selesai tepat waktu… :D

Budi : Makasihhhh, doanya ya, Moni. J
Tapi Ngobrolnya nanti lagi ya, aku mau ngejar deadline nih. OK???
Moni : OKKKK, Budiiiii!!!

Budi kembali menggerayangi tuts-tuts keyboard. Si keyboard tukang ketik, Si speaker tukang nyanyi, Si Jerry Mouse tukang geser-geser, dan semua warga Kompi baik hati, diam-diam mendengarkan percakapan antara Si Moni dan Budi barusan. Diam-diam pula mereka mengaminkan doa Moni untuk Budi. Kami juga rela Budi, kamu ajak lembur tiap malem. Doa kami, semoga TA kamu bisa lekas rampung.

Malam ini.
Previous
Next Post »