Benci


                Rasa benci itu beranak pinak. Mulanya hanya sakit kecil di dalam hati, kemudian berakar ke dalam menjadi antipati berkepanjangan. Ini bukan maunya, ini rasa yang tiba-tiba hadir. Menyeruak begitu saja tanpa permisi. Andai diberikan pilihan, dia tak pernah ingin membenci siapapun. Karena dia menyadari, membenci hanya menghabiskan energi untuk sesuatu yang tidak perlu. Tapi begitulah, tak ada kuasa dalam dirinya untuk menolak rasa itu.
                Muak sebenarnya! Tapi entah kenapa, ketika orang membenci –entah membenci barang ataupun orang lainnya- kita bisa memahami lebih detail tentang apa yang di benci. Kebiasaannya, sifatnya, jenisnya dan segala tetek-bengeknya. Mungkin karena membenci dan mencintai itu sama-sama memperhatikan, hanya saja demi tujuan yang berbeda.
                Dia masih murung duduk bersila beralaskan ubin. Mengurut ulut hatinya, menterapi agar tak lagi tersimpan rasa benci. Tapi sia-sia, rasa itu tak kunjung reda. Seperti hujan lebat yang membasahi. Menanti mentari terbit untuk mengeringkannya. Meski segelas coklat sudah tandas dari beberapa menit lalu, hingga tegukan terakhir tak berkhasiat apapun. Bencinya semakin menjadi.
                Biarlah, biar dia belajar menuntaskan rasa yang tidak perlu ini. Entah besok atau lusa, semoga saja rasa itu tak ada lagi. Energinya masih dibutuhkan untuk yang lain, tapi tidak untuk rasa benci.
Previous
Next Post »