Di Suatu Sore


                Lama tidak menulis, tangan jadi keras, otak jadi beku dan hasrat pun tak lagi menggebu. Lunglai melantai di hamparan tanah, berpasrah lemah tanpa usaha. Ibarat bibir yang kelu dihadapan kekasih, tangan ini kelu diantara tuts-tuts keyboard Si Kompi Rajin Mengetik. Sementara ide seperti diceraikan dari diriku. Tak lagi mengalir seperti Ciliwung yang mampet dihadang timbunan sampah.
                Menulis saja, terus menulis. Begitu petuah yang aku dapat, dan hal ini yang sampai sekarang masih aku pegang. Entah apa isinya, apa jadinya, terus saja menulis. Dan benar saja, entah apa yang kutulis, entah apa isinya, absurd, aku tak mengerti. Seperti mengaktifkan tombol otomotis tangan dan otak, maka mereka pun bekerja sama mengendalikan sistem kerja tubuh untuk menulis dan terus menulis. Memompa energi ke mata yang sudah mulai sayu. Menopang badan agar tetap bertahan, dan menyuplai semangat sebanyak mungkin ke dalam hati   agar tak cepat mati.
                Adzan berkumandang begitu lantang. Berisik bocah berkejaran di emperan memekakkan telinga. Bersahutan dengan suara adzan dari toa di atas menara. Pria setengah baya duduk menunggu di bangku panjang putih yang bersandar di dinding pagar. Menanti seseorang yang tak juga kunjung menyelesaikan urusannya di ruang ini.
                Denting panjang kehidupan masih terdengar disini. Setidaknya dari apa yang dilihat memang begitu adanya. Mereka bilang kota ini adalah kota yang tak pernah mati. Tak pernah istirahat! Dua puluh empat jam sehari, manusia memadati setiap sudut-sudut jalan.
Previous
Next Post »