Sepotong Pagi (Balada Pekerja)


                Menu sarapan paginya selalu sama setiap harinya : segelas kopi dan ketergesaan. Bergegas bangun meski semalam pulang malam habis lembur. Semalam bergadang menyaksikan pertandingan Liga Champion klub kesayangannya: Real Madrid, AC Milan atau Arsenal. Mandi kilat asal kena air dan belek dimata meleleh, itu sudah cukup. Tidak sempat sarapan pagi, karena sudah harus bergegas mencari angkot yang akan membawanya ke komplek perkantoran di daerah Jakarta Pusat. Harus rela berdesakan dengan penumpang-penumpang lain yang bernasib sama seperti dirinya.

                Hidup seperti zombie. Dengan ritual yang sudah pakem. Juklak teknis seperti segala aturan yang ada di kantornya. Teratur jelas, hanya tinggal menjalani saja dengan sekuat hati. Meski resikonya adalah, dia tidak lagi seperti manusia. Karena sekedar untuk menikmati pagi dengan berjoging ria saja tidak bisa. Menyeruput kopi dengan tenang saja tidak bisa. Hari libur sabtu-minggunya dirasa cuma sebentar. Habis untuk berhibernasi, atau menuntaskan segala pekerjaan yang hari kemarin dibawanya pulang ke rumah. Praktis waktunya habis untuk pekerjaan. 

                Hari jumat tlah tiba. Hari terakhir untuk keluar dari ritual lima hariannya. Yaaa, meski tak bisa memanjakan hidup sepenuhnya di hari libur, setidaknya dua hari bebas dari bangun pagi dan berkejaran dengan angkot adalah sebuah berkah yang tak terbayar. Tidak terjebak dalam angkot yang penuh dengan preman dan copet. Kadang juga pengamen yang suka maksa. Karena dari 24 jam waktu hidupnya, 9 jam dihabiskan di tempat kerja (belum kalau tambah lembur). Hampir 4 jam dihabiskan di perjalanan pulang balik. Praktis hanya menyisakan 11 jam, yang dari sebelas itu, hampir 6 jam digunakan untuk tidur. Tersisa 5 jam efektif sehari untuk urusan lainnya. Tak cukup lagi waktu untuk menelpon ke rumah sekedar mengucapkan apa kabar. Kalah oleh rasa lelah yang memaksanya rebah sesegera mungkin setibanya di kamar kost. Tak cukup waktu juga untuk sekedar jalan keluar bareng bersama teman-teman. 

                Hendphonenya berdering. Ada pesan singkat masuk. 

                Pria itu mendengus pelan. Mengangsurkan handphonenya begitu saja ke lantai. Air mukanya berubah. Direbahkannya badan kurusnya di kasur busa yang sudah kempes. Tatapannya menerawang ke langit-langit. Entah apa yang sedang dipikirkan. Tik-tok jarum jam yang menunjuk angka dua belas kedua-duanya menjadi pengisi keheningan kamarnya. Gelap semakin pekat, tapi matanya tak kunjung padam. 

*****

                Pagi yang seperti biasa. Meski tak bergegas seperti hari senin sampai jumat, tetap saja ini pagi yang sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Segelas kopi sudah di tangan. Sebatang rokok terselip di antara jari jemarinya. Mukanya sayu. Kantung hitam pekat menggantung dibawah kelopak mata. Rambutnya acak-acakan. Badan kurus itu menjeplak begitu saja di bibir kasur busa. Hari ini jadwalnya menghabiskan waktu untuk berhibernasi. Tidur panjang menggantikan waktu-waktu tidurnya yang tersita.

                Hendphonenya berdering. Ada pesan singkat masuk. 

                Pria itu mendengus pelan. Berjalan terhuyung ke kamar mandi. Menghabiskan beberapa menit di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, badannya sudah terlihat basah sisa kena air. Segera ia mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja. Hari ini dia harus masuk kerja, ada pekerjaan yang harus hari ini juga dia selesaikan. Beberapa kali dia menguap. Berjalan menyusuri gang di sekitar kostnya. Menuju jalan raya, mencari angkot yang akan mengantarnya ke daerah perkantoran di Jakarta Pusat.

                Dia tak punya pilihan selain mengiyakan pesan singkat yang rupanya dari bosnya di kantor. Di kota ini, nasib anak buah sepertinya hanya bisa bilang iya kalau tidak ingin dicopot dari pekerjaanya. Apapun kata bos ikuti saja. Benar salah tidak banyak berlaku. Karena diluaran sana, banyak orang yang mengantri untuk mendapatkan pekerjaan seperti dirinya. Para pencari kerja yang terlunta di Ibukota. 
 
                Angkot tidak begitu ramai. Jalanan juga tak semacet hari biasanya. Maklum, hari sabtu-minggu banyak kantor yang libur. Kemacetan beralih ke jalan sekitar puncak. Dipadati orang-orang yang ingin menikmati hawa sejuk pegunungan. Sejenak meninggalkan kepenatan Jakarta yang pengap, panas dan berpolusi. Tidak lebih dari satu jam dia sudah mendarat di depan kantornya. Menyapa satpam yang mukanya sudah terset untuk berwajah garang, dan selalu mengatakan kalimat sesuai waktu. Bisa selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam. Berlari kecil menaiki anak tangga menuju lantai empat. Menghampiri Bos yang sudah terlebih dulu sampai di kantor. 

                Di dalam ruangan bosnya, terlihat si bos sedang sibuk menelpon dengan telepon genggamnya. Berdiri menghadap ke kaca dengan pemandangan jalan layang yang melintas. Dia sabar menunggu di depan pintu. Menanti bosnya selesai bicara lewat telepon dan mempersilakannya masuk. Hingga dua puluh menit berlalu, si bos belum selesai juga bicara. Malah yang terdengar suara riang tertawa dari sang bos. Naga-naganya, ini masih akan belum berakhir. Tapi tak juga bisa dia pergi begitu saja. Bisa bahaya kalau nanti tiba-tiba sang bos memanggil. Akhirnya dia berpasrah saja di muka pintu. Menanti pembicaraan itu berakhir. Ah, memang selalu begini nasib anak buah, tidak ada kejelasan.

                “AH, NASIB MENJADI ANAK BUAH! NASIB JADI PEKERJA DI JAKARTA”

#cerita yang ngga' jelas! Lagi ngaco.
Previous
Next Post »