Perjalanan (part 2)

Jumat yang panas. Meski sudah musim penghujan, hari ini panas seperti spesial dihadiahkan. Mungkin hendak mengantarkan kepulanganku sore ini menuju kampung halaman. Jalanan Jakarta masih saja berdebu, masih saja bising. Entah pagi, entah siang, entah malam. Penuh sesak dengan orang-orang yang menggendong banyak ragam kepentingan. Aturan main disini sederhana saja : asal jangan kau colek, maka dirimu  tidak akan dicolek juga. Cukup urusi saja hidupmu sendiri, tak usah sibuk mengurusi kehidupan orang lain. TITIK.

Stasiun yang dicat dominan warna hijau ini disesaski manusia. Tak tahu juga, mana yang penumpang mana yang bukan. Mereka seperti ditumpahkan dari ember raksasa, yang kemudian membanjiri setiap sudut tempat ini. Udara panas menjalar diantara dinding-dinding tinggi. Matahari yang sudah tidak lagi tepat di atas ubun-ubun tidak membuat panas berkurang. Sinarnya memantul di antara hijau dinding stasiun. Penjaja asongan hilir mudik berteriak-teriak mengedarkan jualan. Permen, rokok, minum, tisu! Menambah riuh pemandangan. Di depan area stasiun, tukang ojek santai bercengkarama di pelataran parkir. Sesekali menghampiri penumpang kereta yang baru saja keluar dari stasiun, menawarkan jasa ojek.

Aku tak berminat dengan hilir mudik ini. Pening menghunjam kepalaku dari tadi malam. Membuat aku tak ingin hirau sekitar. Bergegas kakiku menapaki tanggu masuk stasiun, mengedarkan pandang mencari tempat, dan mendaratkan pilihan di sudut loket depan yang kosong. Lesehan santai, berbekal sebotol minuman dan makanan ringan yang tadi sempat aku beli di market. Di depanku dua pria sedang asyik bercengkerama, sepertinya mereka hendak pulang juga, sama seperti dirku. Tapi lagi-lagi aku tak ingin mencampuri kehidupan orang lain, aku memilih asyik masyuk dengan duniaku sendiri. Sembari menanti jam keberangkatan Kereta Ekonomi Brantas yang masih satu jam lagi.

Ingatanku melayang ke masa beberapa tahun silam. Di tempat inilah, untuk pertama kalinya kakiku mencium tanah Ibukota. Pertama kali menghirup udara kotornya. Dan pertama kali juga merasakan hiruk-pikukknya. Berbekal mimpi dan cita-cita tinggi, jajakan kakiku menghentak begitu kuat. AKU BISA! Begitulah kata yang dulu kusematkan di hati. Kuulang dan kuulang lagi. Kupertegas dalam hati, kuulang lagi, kupertegas lagi, dan kuulang lagi, dan hendak kupertegas lagi untuk kesekian kalinya, tanganku sudah lebih dulu ditarik saudaraku masuk ke dalam Bajaj. (Ini untuk pertama kalinya juga aku merasakan bergoyang indah di dalam Bajaj).
*****
Nyaman. Itu kesan yang kudapat saat mendapati tempat dudukku di kursi 18E. Di samping jendela  yang menghadap keluar, tempat ini akan kuakrabi hingga esok pagi. Mengantarku mendarat di Stasiun Solo Jebres kurang lebih besok Subuh. Tak butuh waktu lama, kursi-kursi di gerbong dua mulai terisi. Aku langsung mengambil posisi tidur, tak ingin sibuk dengan basa-basi di dalam kereta. Karena sekali kau kenal dengan penumpang lain, cerita bisa mengalir panjang hingga esok pagi. Untuk saat ini, aku memilih tidur. Itu lebih baik untuk pening yang masih saja bercokol di kepalaku.

Di depanku, seorang bapak setengah baya, sudah mulai sibuk mengajak bicara bapak yang ada disebelahku. Aku memilih memejamkan mata, meskipun sebenarnya aku masih terjaga. Menikmati obrolan mereka berdua tanpa harus terlibat di dalamnya. Bapak yang disebelahku, dengan ekspresi datarnya, mengatakan sudah dari tahun 1990 mondar-mandir Jakarta-Magetan. Dia mengatakan itu seperti hal yang biasa. Bah! Gilaaaa. Sudah hampir 22 tahun, Man. Aku pribadi tidak menginginkan seperti itu. Aku lebih memilih, kelak hidup tenang di kampung halaman tercinta.

Bapak di seberang tempat duduk begitu antusias. Dia seperti pemancing ulung dalam pembicaraan. Dengan gayanya yang berapi-api, bapak sebelahku yang bertipikal adem-ayem itu bisa dipancing bicara banyak. Aku nyengir saja. Ah, obrolan orang tua. Hehe.

Kereta terus melaju. Entah sudah sampai dimana ini. Di luar gelap. Aku sebisa mungkin memaksakan tidur. Biarlah dua bapak ini asyik dengan obrolan masa lalu mereka. Zzz… Zzz… Zzz…
*****
Adzan Subuh berkumandang. Dari peron stasiun ada sambutan selamat datang. Suaranya TOAnya mengingatkanku pada mobil-mobil keliling di Jakarta yang suka menjual jamu. Keras tapi terkadang tidak begitu jelas apa yang dikatakan. Aku bergegas ikut turun, mengikuti banyak penumpang lain yang juga turun.

Masih terlalu pagi. Baru jam empat lewat sekian. Tapi stasiun sudah mulai sesak. Beberapa penjual yang sepertinya terjaga dari malam, bapak-bapak petugas kereta api yang matanya sayu, dan selebihnya gerombolan penumpang kereta api yang baru turun.

Aku berjalan menuju musholla yang bersebelahan dengan ruang kontrol. Musholla sudah penuh dengan jamaah yang hendak menunaikan sholat subuh. Karena keterbatasan ruang, jamaah putri hanya mendapat tempat satu shaf paling belakang. Selebihnya didominasi oleh jamaah pria. Sepertinya jamaah putri harus mengantri lebih lama.
         
     Dan ini saatnya menuju kampung halaman tercinta. Setelah menunaikan sholat subuh, Bus Sumber Kencono Surabaya-Yogyakarta mengantarkanku sampai Klaten tercinta.

                Welcome Klaten Rock City!!!

                Temenku bilang, selalu ada bahagia menyeruak ketika menginjakkan kaki di Klaten. Yeahhh! Sama kalo gitu. :)
Previous
Next Post »