Aku
selalu alergi dengan bau rumah sakit. Hidungku tidak nyaman dengan aroma
obat-obatan. Tapi sekarang bukan saatnya untuk merisaukan hal ini. Tahan saja
sebentar. Ada hal yang lebih urgen . Aku dan ketiga sahabatku, berjalan
memasuki halaman resepsionis Rumah Sakit Usada. Di malam hari ruangan ini lengang.
Tidak ada satpam yang berjaga di depan pintu. Di meja resepsionis nampak seorang
wanita di balik meja. Beberapa penunggu duduk tidak rata di bangku tunggu. Menyaksikan
acara Indonesian Idol dari TV yang menggantung di atas.
“Pak,
kamar rawat anak kecil dimana ya?” tanya salah satu temanku yang berpapasan
dengan petugas keamanan rumah sakit.
“Ohhh, biasanya di atas, ibu. Lantai tiga”
“Oh, terimakasih ya, pak”
“Tapi kalau kamar jenasah dimana ya, Pak?” temanku yang satunya menimpali.
“Kalau kamar jenasah bapak tinggal lurus saja. Ada pintu keluar, bapak ambil kanan”
“Oh, ya. Terimakasih ya, Pak”
Kami berempat bergegas menuju lantai tiga. Sesampainya di lantai tiga, pasiennya sudah tidak ada di ruangan. Kami berinisiatif menuju kamar jenasah. Mungkin sudah dibawa kesana. Kami turun dari lantai tiga menggunakan lift. Barjalan lurus menyusuri lorong. Belok kanan melewati jalur untuk membawa jenasah dari kamarnya. Kami sempat bergidik. Karena di depan pintunya tadi ada tulisan “PINTU KHUSUS KARYAWAN”. Berarti memang ini jalur untuk mendorong jenasah dari kamarnya ke ruang jenasah.
Sesampainya di depan ruang jenasah, aku melihat banyak orang sedang berkerumun di bawah pohon. Dan temanku langsung memeluk seorang pria yang duduk terpisah. Sedikit menggumamkan kalimat. Aku hanya mengangguk pelan kemudian menyalaminya. Kami dipersilakan melihat jenasah di dalam ruangan. Ada seorang pria duduk di depan pintu dengan muka sembab. Disampingnya ada pria dengan perawakan tinggi menemani. Temanku lagi-lagi memeluk pria ini, kali ini lebih kuat. Pria yang dipeluknya menangis. Bergumam kalimat pelan. Temanku hanya bilang, “yang sabar ya”. Ternyata pria ini adalah bapak dari sang jenasah.
Di ruang jenasah, anak ini terbujur kaku terbungkus kain putih. Buluk kudukku merinding. Ketika kain putihnya dibuka, masyaAlloh, trenyuh hatiku. Wajah lucunya bengkak. Di usianya yang sekarang harusnya lagi lucu-lucunya, harus berpulang kepada Sang Pencipta. Baru satu tahun dia hadir di dunia fana ini.
Kami sejenak memanjatkan doa untuk adek kecil yang lucu, semoga disana bisa puas bermain di tempat yang lebih baik daripada disini. Selesai berdoa, kami berpamitan. Berangkat lebih dulu ke rumah duka.
*****
Sesampainya
di rumah duka, sudah banyak tetangga kanan kiri yang bertakziyah. Meski rumah
duka berada di tangerang, aku merasa seperti sedang berada di kampung
halamanku. Hampir semua tetangga yang sedang bertakziyah berbicara menggunakan
bahasa Jawa. Malah ada yang berbahasa Jawa alus. Setelah bersalaman, aku duduk
bersama mereka. Sudah larut malam. Tapi tetangga semakin banyak yang datang. Guyub sekali. Tidak semua sudut di kota
Jakarta dan kota-kota penyokongnya, hidup sendiri-sendiri. Buktinya aku masih
menemukan warganya yang guyub disini.
Aku
hanya duduk menunggu. Temanku, keluar masuk mengurusi segala sesuatunya. Temanku
memang masih bertalian saudara dengan keluarga. Tak selang berapa lama aku
duduk, bunyi sirine ambulan terdengar dari kejauhan. Jenasah sudah bisa dibawa
pulang dari rumah sakit. Pemandangan yang memilukan. Dulu aku juga sempat
trauma dengan suara sirine. Tapi itu sudah berlalu.
Waktu
terus menanjak malam. Tak banyak yang bisa aku lakukan. Dalam hatiku,
berlintasan banyak pikiran. Anak itu beruntung, dipanggil padaNya dalam usia
yang sangat muda. Sungguh, sangat beruntung. Dalam keadaan yang masih suci,
belum dipanggulkan dosa di atas pundaknya. Lebih baik mati muda dan sedikit
dosa, daripada berumur panjang dan menumpuk maksiat. Dan semoga, anak ini nanti
menjadi tabungan amal buat kedua orangtuanya. Semoga mereka sabar dan legowo menerima
semua ini.
Tunas
pun mati, pohon juga mati. Tak ada yang tahu kapan waktu memanggil. Semua ini
adalah rahasiaNya.
EmoticonEmoticon