9 Summers 10 Autumns


(sumber gambar: dicomot dari budhe gugel)

 Beberapa hari yang lalu tak sengaja dapet pinjeman Novel 9 Summers 10 Autumns dari seorang temen. Telat banget sih sebenarnya. Karena novel ini pertama kali launching februari tahun 2011, sudah setahun berlalu. Tapi untuk sebuah bacaan yang bagus, lebih baik telat daripada tidak membaca sama sekali. Hehe. 

Sebelumnya sudah beberapa kali melihat sampul bukunya ini di internet maupun di toko buku. Dan menarik kelihatannya! Dengan sampul putih tanpa banyak pernak-perniknya, hanya gambar dua buah apel ditengah-tengahnya. Tapi sayang, kantong tipis selalu menjadi alasanku mengurungkan niat membeli buku.

Hingga akhirnya sabtu sore lalu, temanku membawa novel ini ditangannya. Dengan sedikit memelas dan pisau menempel di perutnya *lebay*, buku ini pun berpindah ke tanganku. Sang pemilik meringis ikhlas meski belum menuntaskan membaca.

Dan dari sampul yang menarik, berpindah ke halaman pertama novel.

Ah, bosen! Itulah kesan pertama membuka halaman awal novel ini. Terkesan datar saja (meskipun gw juga belum bisa bikin novel kayak Mas Iwan). Tapi tetap kulanjutkan membaca ke halaman-halaman berikutnya. Hingga akhirnya aku menuntaskan novel ini dalam tempo dua hari saja. Di sela-sela waktu senggang kerja.

Kesan pertama tidak selalu menjadi kesan berikutnya. Karena seperti kata iklan obat ketek jaman dulu, kesan pertama kurang menggoda, tapi selanjutnya, belum tentu kurang menggoda?

Aku terhanyut dengan cerita yang mengalir dari Mas Iwan. Aku tergoda di kesan berikutnya. Tokoh di dalam novel seperti menjelma jadi diriku. Aku berada di Batu, aku berada di Bogor, aku berada di Jakarta, aku berada di Italia dan aku berada di New York. Aku bisa merasakan semua tempat-tempat yang dikunjungi dalam novel.

Mungkin karena masa lalu dari Mas Iwan tidak berbeda jauh dengan diriku, sehingga dengan mudah aku bisa masuk di dalam ceritanya. Sedikit banyak, apa yang dialami Mas Iwan, aku juga pernah mengalaminya. Meski berada di dimensi waktu dan ruang yang berbeda.

Kisah ini layak di konsumsi semua masyarakat Indonesia yang ingin merubah hidupnya. Iwan, seorang anak supir angkot di Batu, Malang bisa menjadi seorang Direktur Internal Client Management Nielsen Consumer Research, New York.

Sebuah perjuangan hati untuk mendapatkan mimpinya. Disokong saudara yang saling menyayangi dan saling  mengerti. Dipayungi kedua orangtua yang tak pernah lelah. Terlebih ibu, yang usahanya tak kenal putus, semangatnya yang tak pernah padam, dan doanya yang mengalir lirih seperti rintik air di musim hujan. 

Tak perlulah aku rating-merating. Semua jempol aku berikan untuk novel ini. Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, kita harus bergerak, mewujudkan perahu impian kita. #JEMPOL#
Previous
Next Post »