Aku dan Hujan

"Aku melihat hujan di matamu"

"Aku juga merasakan hujan di hatimu" kilahnya.

Hanya sunyi yang bernyanyi. Terkadang diselingi pelan isaknya. Selebihnya kembali sunyi. Kulihat matanya kian basah. Kuangsurkan tisu yang ada digenggamanku.

"Semua tak bisa seperti ini. Harus ada yang menghentikannya" Aku mencoba memecah kesunyian. Tangannya sibuk merapikan tumpukan tisu bekas menghapus air mata. Aku duduk memandanginya dari tempat yang berhadapan. Hanya ada isak. Ia tak hirau dengan perkataanku barusan. Aku juga tak terburu menyambung kalimatku, karena aku tahu persis apa yang sekarang dia lakukan. Berpikir. Itulah dia. Selalu memikirkan hal-hal penting yang akan diucapkan. Sepertinya, asal berujar adalah kesalahan fatal baginya. Dalam hal-hal penting tentunya, tidak berlaku dalam percakapan ringan sehari-hari. Tapi kali ini cukup lama. Tumpukan tisu di depan kami sudah semakin banyak, aku pun sudah tak punya ide harus melakukan apa selain duduk menunggu dan memainkan ujung-ujung jariku menanti dia berbicara.

Angin meniupi kami sejak tadi, udara dan tempat yang menyenangkan. Kiara pandang ini sungguh tempat yang mengasyikan sebenarnya. Kalau saja aku tidak sedang duduk menghadapi gadis cengeng. Hamparan candi terlihat indah dari sini. Di sebelah timur, terhampar area perkemahan di belah sebuah tangga batu memanjang ke bawah hingga ke pelataran yang luas dengan pohon-pohon besar. Di sebelah kirinya ada sebuah pendopo yang cukup luas untuk acara-acara pementasan. Di sisi utara juga terlihat jelas jalan raya yang memanjang mengelilingi bukit dimana kami berada sekarang ini. Candi prambanan terlihat gagah dari kejauhan. Sungguh tempat yang indah, meski waktunya tidak indah.

#tak selesai#
Previous
Next Post »