Menderita Bersama Atletico Madrid

"Pendukung Atletico terpenjara perasaannya sendiri, terikat selamanya dengan warna kostum klub," kata Fernando Torres

Menderita Bersama Atletico Madrid
Fans Atletico Madrid memadati Stadion Vicente Calderon. (http://atleticodemadrid.com/)
Kalau berkunjung ke Kota Madrid di Spanyol, sempatkanlah mendatangi dua stadion klub sepak bola paling populer di sana, yakni Real Madrid dan Atletico Madrid. Anda akan menemukan perbedaan yang kontras.

Paling terlihat ialah kondisi dan letak stadion yang menjadi markas Madrid dan Atletico. Stadion Santiago Bernabeu yang menjadi kandang Los Blancos terletak di tepi jalan utama Kota Madrid. Di dalamnya terdapat restoran dan museum yang memperlihatkan puluhan trofi yang pernah mereka raih. Stasiun kereta api yang kerap disebut Metro pun hanya selangkah dari sana.

Sementara itu, letak Stadion Vicente Calderon yang menjadi kandang Los Colchoneros jauh berbeda dibanding Stadion Santiago Bernabeu. Stasiun Metro terdekat berjarak cukup jauh, sekitar dua kilometer. Selain itu, posisinya juga berada di kawasan apartemen dan perumahan sederhana. Jalan yang melewatinya hanyalahmotorway M30.

Situasi itu sangat menggambarkan perbedaan kondisi Madrid dan Atletico. Kedua tim bak bumi dan langit. Dari segi apa pun, Los Colchoneros kalah segala-galanya dari Los Blancos yang merupakan salah satu klub terbesar di dunia.

Akan tetapi, Atletico bisa bersaing dari segi dukungan. Mereka memiliki para suporter yang fanatik. Jumlahnya masih kalah dari pendukung Madrid. Namun, setiap kali berlaga, Stadion Vicente Calderon yang berkapasitas sekitar 55 ribu orang bisa selalu penuh.

Melihat keberadaan klub seelite Madrid di sana tentu aneh melihat sejumlah orang memilih mendukung Atletico. Namun, mereka adalah orang-orang yang siap menderita bersama klub dukungannya selama hayatnya.

Striker Fernando Torres yang tumbuh dari tim junior Atletico memiliki pengalaman tentang betapa sulit menjadi pendukung Atletico. Pada masa kecil, sebagian besar rekannya memilih mendukung Madrid. Dia pun kerap menjadi korban ledekan karena Los Colchoneros yang diidolainya terus-menerus menuai kegagalan. Namun, Torres tetap setia memberi dukungan kepada Atletico.

“Pendukung Atletico terpenjara perasaannya sendiri, terikat selamanya dengan warna kostum klub,” kata Torres dengan nada filosofis.

Akan tetapi, itulah keunikan mendukung Atletico. Mereka mengklaim sebagai klub para pekerja dan orang biasa di Kota Madrid. Pengakuan itu sesungguhnya bisa diperdebatkan karena klub lain di sana, Rayo Vallecano, juga merupakanworking classteam. Namun, para fans Los Colchoneros memang menjadikan klub sebagai simbolisasi kehidupan mereka sehari-hari.

Simbolisasi Kehidupan
Para pendukung Atletico berasal dari beragam kalangan. Paling besar adalah kaum pekerja dan orang-orang biasa. Mereka berprofesi sebagai penjual makanan di tepi jalan, sopir taksi, maupun tukang bangunan.

Sebagai orang biasa, pahit-getir kehidupan mereka rasakan. Kesulitan ekonomi maupun upaya keras untuk menghidupi keluarga sudah merupakan makanan sehari-hari. Mereka pun tidak bisa bermewah-mewah atau menikmati kehidupan mapan layaknya orang dari kalangan atas.

Hidup seperti itu, mereka malah menjadikan Atletico sebagai simbol kehidupannya. Mereka menyamakan naik turun maupun kegagalan atau kesuksesan klub seperti nasib sehari-hari.
Gelimang trofi dan kesuksesan di atas lapangan hijau bersama Atletico tidak mereka buru. Kegagalan serta kepahitan kekalahan dianggap bukan sebagai masalah besar. Terbukti, ketika mereka terdegradasi ke Divisi Segunda pada 1999, jumlah penonton yang datang ke Stadion Vicente Calderon malah semakin banyak.

Fans Atletico bisa seperti itu karena sudah terbiasa mengalami kepahitan hidup. Gagal di atas lapangan dianggap sama seperti kesulitan yang sudah sering mereka rasakan sehari-hari. Akibatnya, sebuah hal aneh terjadi. Makin terpuruk Los Colchoneros, makin besarlah pula dukungan yang diberikan para suporternya.

Jurnalis dari media olahraga Spanyol, AS,Juanma Trueba, menyebutkan bahwa fans Atletico mengusung romantisme yang mungkin tidak membumi. Mereka malah menjadikan kekalahan sebagai “kemenangan moril”. Sikapnya disebut Trubea malah mirip kelainan jiwa, yakni senang menyakiti diri sendiri.

Akan tetapi, itulah arti menjadi pendukung Atletico. Kesuksesan bukanlah hal utama. Keterpurukan justru menjadi alasan untuk semakin memberi dukungan. Alhasil, meski kalah dalam segi jumlah dibanding penggemar Madrid, mereka tidak minder. Selama hayatnya mereka akan selalu meneriakkan dukungan terhadap Los Colchoneros, klub yang dijadikannya “teman” untuk menderita dan mengalami kesulitan seperti dalam kehidupan nyata.

(Asis Budhi Pramono)
Sumber artikel: dimari
Previous
Next Post »