Kalimat Pertama


                Kalimat pertama, selalu saja menjadi hal paling sulit. Karena memulai memang bukan perkara yang gampang. Butuh proses perenungan, butuh inspirasi yang sedah membuncah. Setidaknya itu berlaku bagi diriku. Tidak tahu juga, apakah hal itu berlaku bagi orang pada umumnya. Pendapat pribadi saja, Kawan! Jangan terlalu kalian risaukan. J
                Setelah beberapa waktu tidak bertemu dengan rekan-rekan yang menginspirasi, hari ini tadi, ahad 16 oktober, aku bisa berkumpul lagi dengan mereka. Sungguh hari yang menyenangkan. Berbagi, bercanda, dan tentu saja, memompa kembali tekad dan semangat agar full kembali.
                Banyak, banyaaaaakkkk sekali yang ingin dibagi. Tapi isinya berlarian kesana-kemari, membuat aku kesulitan untuk mengikatnya menjadi satu, dan menyuguhkannya menjadi cerita yang enak dibaca. Tapi intinya begini, bahwa untuk menjadi sesuatu, kita harus konsisten. Konsisten menggelutinya, konsisten belajar isinya, caranya, konsisten untuk tidak patah arang, konsisten untuk tidak anti kritik, dan konsisten untuk segera memulai. Sekecil apapun, sejelek apapun. Biarkan nanti proses yang membentuk kita. Lebih baik sedikit tapi memulai, daripada banyak tapi sebatas dalam ingin.
                Kata-kata ini, tidak ditujukan kepada siapapun, tapi ditujukan pada diriku sendiri. Betapa selama ini, aku hanya memelihara ingin yang besar, tapi tidak dibarengi dengan usaha untuk menjadi sesuatu yang diingini.
                Kata-kata mengena yang dari dulu dilontarkan kepadaku, tidak membuat aku segera berbenah. Hanya tertawa, terkadang juga dongkol dipermalukan, tapi sehabis itu ya sudah. Titik. Selesai. Tidak ada upaya untuk akhirnya aku balajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Yang ada, besok seperti itu lagi. Mengulang-ngulang hal bodoh yang sering kulakukan. Memang sih, mentor tidak pernah bosan memahamkan aku. Tapi seharusnya aku bosan, karena setiap kali selalu ada di titik yang sama. Tidak beranjak dari satu kesalahan. Justeru aku bisa tertawa bahagia di atasnya.
                Success is my right! Begitu Andrie Wongso sering berujar. Tapi permasalahannya, sudah pantaskah kita jadi orang sukses? Orang sukses tidak ada yang malas. Orang sukses tidak ada yang penunda. Orang sukses tidak ada yang pesimistis. Orang sukses tidak ada yang tidak mau berubah. Orang sukses tidak ada yang merasa nyaman di satu titik saja. Orang sukses itu adalah, dia yang selalu ingin berinovasi, dia yang selalu ingin menjadi lebih baik dari ke hari, dia yang selalu tidak merasa puas tapi tidak pernah lupa bersyukur kepada yang memberinya nikmat, dia yang percaya meski orang lain merasa itu mustahil, dia yang yakin dan berpikir beda dari yang lain. Orang sukses itu, dia itu : SAYA!!!
                Untuk berkomitmen menjadi lebih baik, ternyata banyak sekali halangannya. Adaaaa saja, hal yang membuat kita berkata “Besok saja ah!” atau membuat kita berkata “Ah! Tidak mungkin itu!”. Atau kata-kata pesimistis lainnya. Itu lagi-lagi bukan buat orang lain, tapi buat diriku. Yang tlah ditulis dari atas ke bawah, dan yang sudah kalian baca, itu semuanya adalah tentangku. Jadi, tidak perlu merasa tersinggung atau bagaimana. Ini tidak membahas dunia orang diluarku. Tapi pure, 100% tentangku.
                Kau tahu, untuk menulis 461 kata saja, atau untuk menulis kurang lebih 2.718 karakter saja, aku begitu kesulitan. Terengah-engah, terbata-bata. Jadi ketahuan kan, betapa jarangnya aku latihan menulis. Menulis, tidak beda dengan aktifitas lainnya, harus ada latihan rutinnnya, agar tidak terjadi “keterkejutan social”. Entah lah istilah yang pasnya apa. Tapi kalian tahu kan apa maksudku? Jadi, bila diibaratkan olahraga, harus ada pemanasannya dulu, baru memasuki tahap intinya, lalu ada pendinginan. Dan itu harus rutin. Kalau tidak , efeknya nanti badan jadi mudah terkena penyakit juga. Kurang mempunyai respon yang kurang bagus bila tiba-tiba diserang virus. Nah, kalau diibaratkan virus adalah keharusan menulis, kemampuan menulis kita diibaratkan sebagai daya tahan tubuh. Karena jarangnya kita berolahraga, daya tahan kita mudah dilumpuhkan. Baru beberapa kalimat yang diketik, kita sudah angkat tangan. Menyerah! Seperti di acara-acara misteri jaman dulu, sejenis Dunia Lain-Lain dan kawan-kawan, kalau sudah mentok, mereka angkat tangan. Kita juga, angkat tangan, dan bilang “Aku sudah nggak ada ide nih. Mentok!” Plak. Dan netbook pun ditutup. Kalau nggak pake netbook, ya nyari-nyari tombol shut-dwon di kiri bawah. Sepertinya, nggak ada yang bakalan banting bolpoin. Karena jarang-jarang, di jaman sekarang orang yang make kertas untuk membuat tulisan. Surat cinta pun sudah tidak model lagi. Tergantikan perannya oleh pesan singkat, atau email.
                Huahhhh. Dan aku sekarang merasakannya. J
                Tapi tenang. Bertahan-bertahan! Asal tulis saja, baru dapat empat ribuan karakter, masih terlalu sedikit. Ini tulisan nggak jelas. Bisa dibayangkan, seperti apa perjuangan kita kalau pengen nulis sekedar cerpen ringan, tentang kisah cinta anak remaja, atau lebih banyak sedikit, bikin novel-novel metropop. Butuh ketabahan coy! Hwehehehe.
                Makanya aku bilang sama diriku sendiri, “YANG TABAH YA, SON!!!”. Sengaja pakai caps lock, biar lebih kentara. Haha. (Eitsss! Jangan kebanyakan ketawa napa, Son!) Iya, iya. Dikurangin nanti ketawanya. Pfiufffh.
*****
                Hari ini, satu yang bisa kupetik (sebenarnya banyak, tapi biarlah satu yang paling mewakili), bahwa diriku ini ternyata belum ada apa-apanya. Masih cetek. Itu pun pake banget. Kalau dijajarkan dalam deret pendidikan di Indonesia, di TK pun aku belum masuk. Masih di taraf play group atau bahkan PAUD. Masih HARUS banyak belajar, banyak membaca, banyak berpikir, banyak merenung, dan sedikit bicara. Karena aku itu kebalikan dari yang kusebutkan barusan. Sedikit belajar, Sedikit membaca, Sedikit berpikir, Sedikit merenung, dan banyak bicara. Seberapa burukkah itu? Ohhh, mannnn! Itu buruk sekali. Tapi ya mau bagaimana lagi, di tingkat PAUD atau Play Group memang sedang taraf belajar, banyak tanya dan banyak ingin tahu. Jadi yaaa, begitu deh. Meski kadang apa yang ditanyakan kemarin, ditanyakan lagi hari ini. Karena memang kondisinya yang seperti itu. Sedang ingin-inginnya bermain.
                Sebuah doa terpanjat, semoga aku tidak selamanya seperti ini. Ada tahap-tahapan yang harus dilalui memang, layaknya anak sekolah. PAUD, Play Group, TK, SD, SMP, SMA, dan kuliah bila mau dan mampu. Aku harus memulai untuk belajar, agar bisa naik tingkat ke atasanya. Terus, terus dan terus. Jangan berendah diri karena belum sama atau dibawah rekan sesama. Karena apa, malu dan rendah diri tidak membuat kita lebih baik. Justeru cenderung membuat kita semakin terpuruk saja. Karena malu itu, menjauhkan diri kita dari rasa ingin memperbaiki diri. Lebih parah lagi, kita menstempel diri kita dengan kata-kata “Ah, aku memang nggak berbakat!”. Atau dengan kalimat lain yang bernada sejenis “Biarlah, begini saja sudah cukup kok!”. Wahhhh, gaswat, man. Itu GW banget!!! Maksdunya, bukan aku suka, tapi seperti itulah kondisi diriku. Malu, karena masih belum sama dengan yang lain, yang akhirnya membuat aku menjauh dari sumber ilmu, bukannya mendekat agar lebih paham lagi. Rasa malu, terkadang berdampak buruk. Harus pada tempatnya, dan digunakan secara benar!
                AKU BISA! AKU BISA! AKU PASTI BISAAAA!!!!!

Previous
Next Post »