Membahagaikan tidak selalu harus dengan memberi kelimpahan materi

“Membahagaikan tidak selalu harus dengan memberi kelimpahan materi, Anakku. Materi memang menjadi prasyarat kenyamanan hidup, tapi tidak bisa dijadikan tolok ukur kebahagiaan”
Aku takzim menyimak perkataan pria setengah baya di depanku. Ada gelombang kesadaran yang tiba-tiba menyeruak begitu saja di kepala. Membuat kedua mataku seketika panas. Tapi aku hanya bisa mengusap-ngusap ujung hidung yang tidak gatal. Sekedar untuk mengusir kegelisahan hatiku.
“Kau tahu, Anakku. Dulu orang tua ini persis sepertimu. Idealis, merasa benar sendiri dan tak pernah mau menerima keadaan yang tidak sesuai dengan hatinya. Pemberontak ulung”
Pria setengah baya itu menghela nafas. Sekilas menatapku, kemudian membuang pandangan ke luar. Entah apa yang dilihatnya. Seperti sedang melihat sesuatu yang berada jauh di ujung tak tersentuh. Aku tak bicara, menantinya melanjutkan cerita sesegera mungkin. Karena perkataannya barusan dengan sempurna memberi pukulan telak ke ulu hatiku. Tapi tidak, dia hanya menatapku sekilas, dan kembali membuang pandangan keluar. Selebihnya membiarkanku gelisah menanti apa yang akan dikatakannya. Seolah tak peduli pada anak muda yang duduk di hadapannya.
Hujan rintik di luar tak jua berhenti. Sekarang malah jadi butiran-butiran yang lebih besar. Semakin banyak, semakin basah. Aku membenarkan letak syal yang melilit leherku. Memainkan telapak tangan di punggung gelas kopi yang masih hangat. Sambil tentu saja menunggu pria setengah baya di hadapanku kembali bicara. Ah, sepertinya akan lama. Dia masih asyik dengan dunianya sendiri, seperti sedang tersedot ke lubang hitam yang membawanya ke dunia imaji. Meninggalkan aku disini bersama fisiknya, sementara khayalnya entah berkelana kemana.
Aku tak peduli hilir mudik orang-orang di sekitar. Sedang tidak berselera. Biasanya, orang-orang tergesa menjadi tontonan yang asyik buatku. Duduk di kursi ini, yang saat ini kutempati. Iseng memperhatikan ekspresi lelah dari pejalan kaki di jalur pedestrian sungguh membawa sensasi tersendiri. Beberapa ada yang menggerutu kesal, memegang handphone ditangan sambil terus berlalu. Tak melihat sekitar. Dan tiba-tiba bruk, mereka sudah bertabrakan dengan orang yang serupa. Wajah kesal, sambil tangan kanan memegang handphone. Mereka akan bertatap-tatapan sebentar, mengatakan makian lewat isyarat mata, dan berlalu lagi dengan gaya yang sama. Ada juga wanita-wanita karir, dengan dandanan cantik, yang membuat semua pria berhenti sejenak dari aktifitasnya, demi melihat dia berjalan dengan anggun. Serba branded kalau istilah mereka, dari ujung kepala hingga ujung kaki barang yang dikenakan bermerk semua. Dan mereka merasa bahwa mereka adalah putri yang baru saja turun dari kahyangan, untuk berbelanja barang-barang bermerk di mall terkenal.
Tapi tidak untuk hari ini. Hari ini semua tidak menarik bagiku. Kecuali tentu saja duduk berdua bersama Pria separuh baya dihadapanku ini. Orang yang muncul begitu saja, membuat suasana beda di soreku yang berkalung mendung. Mendung di langit dan mendung di hati. “Boleh saya duduk?” sapanya tiba-tiba. Dan sebelum aku sempat berpikir untuk mengiyakan atau menolak, dia sudah rapi duduk tepat di seberang meja. Tak peduli dengan muka protesku. Matanya mengedik meminta pengertian, seolah ingin mengatakan “Sudahlah, di luar sana hujan. Kursi disini juga sudah penuh semua”. Tak ada pilihan lain, diamku menjadi pertanda iya baginya.
*****
Aku pagi ini terbangun seperti biasa, tergagap mendengar cicitan weker yang tak jua berhenti. Melihatnya sekilas, dan segera membawa kesadaranku seketika itu. Jam setengah tujuh. Terburu aku melompat dari atas tempat tidur, berlari kesetanan menuju kamar mandi, dan mencuci badan seperlunya. Sepuluh menit kemudian, aku sudah berjejalan di bus kota bersama orang-orang tergesa lainnya. Berhimpit sesak pria-wanita. Syukur-syukur dapat tempat duduk, kalau pun tidak perduli setan, asal bisa masuk ke bus kota dan sampai tempat kerja tepat waktu itu sudah cukup. Daripada aku harus disemprot Mister Gosen (lagi), atasanku yang super duper disiplin. Minggu kemarin dia sudah mengancam akan memotong jatah uang makan bulan ini kalau aku terlambat lagi. Ah, sungguh teganya-teganya-teganya. Bisa lebih banyak puasa kalau jatah uang makanku harus dipotong. Harusnya dia tahu, Jakarta itu maceeeettt sekali, Pak. Belum lagi, aku yang suka bangun kesiangan karena harus lembur di kantor sampai larut.
Hidupku hanya berputar-putar dari kamar kost-bus kota-dan kantor. Begitu setiap harinya. Porsinya sama kalau aku hitung. Di kamar kost aku tidur delapan jam sepulang kerja, terkadang kurang kalau tiba-tiba Mister Gosen dengan semena-mena memaksaku lembur. Tak ada kata tidak atau selamanya Mister Gosen tidak akan menyuruh-nyuruhmu lagi. Di kantor juga aku habiskan delapan jam sehari, tentu saja itu diluar jam lembur. Dan sisanya aku habiskan di perjalanan. Sungguh indahnya hidup, Huff…
Tapi aku belajar untuk tidak mengeluh atas semua ini. Belajar ikhlas seikhlas-ikhlasnya menjalani hidup. Semenjak tiga tahun lalu, saat pertama kalinya aku menginjakkan kaki di ibukota, yang ternyata kehidupannya begitu berat dan keras, aku mengikrarkan janji bahwa aku akan menjadi orang yang berhasil demi dirinya. Seorang wanita yang sangat aku cintai. Tak aka nada cinta melebihi cintaku padanya. Aku ingin melihat wajahnya kembali tersenyum.

#tak ada lanjutan#
Previous
Next Post »