Empat Hari

Resminya baru empat hari aku kembali ke Jakarta, setelah sekian hari menunaikan rindu di kampung halaman dalam moment lebaran yang menyenangkan. Tapi rasanya seperti sudah berminggu-mingu saja aku disini. Entah karena suasananya yang tidak asing, atau karena aku yang memang dimudahkan untuk beradaptasi dalam segala suasana. I don't know.
Jangan paksa aku untuk mencintaimu, Jakarta. Semenarik apapun dirimu, hingga kini hatiku masih utuh untuk satu Klatenku tercinta. Aku bersamamu saat ini, itu memang karena harus, bukan sebuah keinginan tulus dari dalam hati. Dalam kesempatan lain, bila aku diizinkan pulang dan merenda hidup disana, di Klatenku tercinta, tidak perlu kau tanya dua kali, aku akan langsung bilang iya.
Entah sebulan, dua bulan, setahun dua tahun, entah berapa lama aku akan tetap bersamamu. Tak ada yang tahu. Tidak kau, tidak juga aku ataupun orang lain.
Kau tahu, hampir dua minggu kemarin, tak banyak yang bisa aku tulis. Karena di Klaten aku sibuk dengan kehidupan nyata. Hanya sempat beberapa kali aku menyambangi dunia maya. Sekedar mengobati rasa ingin tahu, seperti apa keadaanya. Aku merasa nyaman dengan dunia nyata, meski tidak menulis beberapa hari, seperti ada rutinitas yang hilang dari aktifitas harianku. Sudah aku usahakan untuk membeli buku agenda, siapa tahu keinginan menulis itu bisa sejenak teralihkan ke agenda itu, tapi sia. Beberapa waktu tidak menggunakan agenda, seperti ada yang aneh. Tanganku hanya menghasilkan resep-resep dokter, peran pena yang sudah tergantikan oleh tombol-tombol keyboard memang sulit untuk dikembalikan. Dan akhirnya kau tahu, buku agenda itu lebih banyak berdiam diri di tas hitam kumalku. Bersama tumpukan barang-barang lain yang terabaikan.
Tapi aku tak menyesal, beberapa hari di Klaten adalah beberapa hari yang indah. Kompensasi manis untuk tidak menulis (atau sekedar alasanku?). Harus jujur kuakui, itu indah. Apapun alasannya!
Betapa kesederhanaan-kesederhanaan itu rupanya hampir pudar dari dalam diriku. Terinfeksi budaya hedonis Ibukota. Menakar segala sesuatunya dengan ukuran materi.
Kau tahu, apa yang pamanku di kampung bilang? (Aku hampir menangis mendengar beliau berucap ini).
Di saat keponakan-keponakannya berkumpul di beranda rumah, yang rata-rata masih berusia muda, beliau sambil bicara santai memberi nasihat kepada kami. Tidak terkesan menggurui, dan meluncur tepat ke dalam hati kami. (Mungkin karena disampaikan dari hati pula).
Beliau bilang seperti ini, karena yang kami obrolkan memang sekitar pekerjaan-pekerjaan kami. Dan salah satu dari kami – keponakannya – sudah beberapa tahun ini tidak pulang ke kampung halaman tercinta. Sibuk dengan pekerjaan.
“Pekerjaan apapun itu, jalani saja. Yang penting halal. Dan jujur, mau bekerja dimanapun, kamu harus jujur. Aku bekerja sekarang ini juga tidak pengen kaya kok. Cukup dengan pemberian Gusti Alloh. Sholat lima waktu jangan sampai kelewatan, karena aku yakin, segala pasti dimudahkan kalau kita mau sholat. Jangan cuma duit aja yang dicari, tapi sholatnya dilupakan. Kalau kita ingat Alloh, nggak mungkin Alloh bakalan melupakan kita. Percaya itu”.
Dan memang iya. Semoga kami bisa menghayati pesan paman kami.

#Wis ah, mau balik. Sudah hampir dua jam di warnet.
Previous
Next Post »