Wanita itu berdiri di depan cermin. Menatap nanar wajahnya sendiri yang begitu lesu, tak ada gairah hidup. Kulitnya yang mulai keriput, sinar matanya yang mulai redup, sepertinya tak ada yang tersisa dalam dirinya kecuali kepasrahan pada nasib. Menyerah begitu saja, terserah garis takdir akan membawanya kemana. Dia sudah terlalu lelah untuk menangis, sudah begitu banyak air mata yang tercurah selama ini. Namun, dirasanya itu tak bisa membuat keadaan menjadi lebih baik. Pada akhirnya, bosan juga dia terus menangis.
Laporannya baru saja selesai dibacakan. Terlihat jelas wajah-wajah yang tadi tertawa ria tak acuh padanya, mendadak semua tertuju padanya. Bukan karena takjub, tapi keheranan karena pencapaiannya hasil kerjanya tahun ini yang begitu buruk. Sangat tidak memuaskan. Mata-mata itu menghina, yang tadi tertawa kini menertawakan, jelas sekali tatapan-tatapan itu merendahkan wanita itu. Itulah kenapa dia tadi terburu ke kamar mandi setelah selesai dengan semua kewajibannya ini.
Samar masih di dengarnya riuh rendah di ruang rapat, yang tempatnya tidak begitu jauh dari kamar mandi. Suara tertawa itu, entah menertawakan apa. Tapi dia merasa, semua itu tertuju padanya. Hanya padanya. Iyaaa, dan pada satu pemuda yang tadi duduknya berseberangan dengannya tentu saja. Tadi dia mengalami hal yang sama dengannya, meski pun dia terlihat lebih tenang. Tapi siapa tahu, sebenarnya dalam hatinya juga bergemuruh sama sepertiku? Tanya wanita setengah baya itu pada dirinya sendiri.
Dia mematut-matut lagi wajahnya di depan cermin. Dia nampak lebih tua dari yang seharusnya. “Mungkin aku terlampau menyiksa diri dengan pekerjaanku ini” bisiknya. Di pegangnya pipi yang mulai keriput, kerutan-kerutan di dahi, dan kantung mata yang menghitam. “Ah, mungkin benar aku terlalu memaksakan diri”. Wanita itu membasuh wajahnya lagi, sisa-sisa gelisah masih berasa dalam dirinya. Degupan jantungnya juga masih belum stabil. Pencapaian kerjanya memang sangat buruk tahun ini, tapi lebih buruk lagi adalah dipermalukan di muka umum seperti tadi. Meskipun dia tahu, tentu manajernya tidak bermaksud untuk membuatnya malu. Ah, entah lah!
“Ini baru penerimaan raport di dunia. Melaporkan apa yang telah kita kerjakan selama satu tahun terakhir? Bagaimanakah nanti aku menghadap di pengadilanNYA?”
Wanita itu menajamkan matanya. Berbicara pada orang yang ada di dalam cermin. Sebuah kesadaran baru menyeruak.
“Kamu tidak pernah mikir seperti itu kan?! Tidak pernah sama sekali! Karena memang orientasimu selama ini adalah materi. Segala sesuatunya selalu diukur dengan materi, materi dan materi”
Ibu itu berteriak tertahan di kamar mandi, menunjuk-nunjuk orang yang ada di dalam cermin.
“Tenang lah!!! ini hanya urusan pekerjaan. Seburuk-buruknya kamu dipecat. Sudah! Masalah selesai. Kamu tinggal cari tempat kerja yang baru. Tapi bagaimana ceritanya kalau kamu “dipermalukan” di pengadilanNYA. Hasil “kerjamu” selama hidup di dunia dibacakan dengan lantang??? BAGAIMANA???”
Wanita itu tergugu di depan cermin. Sebisa mungkin dia menahan suara agar tak terdengar dari luar. Dia menangis sejadinya setelah berbicara dengan dirinya sendiri di cermin. Dibasuhnya wajahnya berkali-kali, mencoba menyamarkan bekas menangisnya, agar nanti tak terlihat oleh rekan-rekannya di ruang rapat. Ah, sebenarnya dia tak perlu risau, orang-orang tadi tentu tak akan memperhatikan dirinya. Bukan kah tadi juga dia tidak diacuhkan? Tadi tidak, sekarang pun tidak.
Wanita itu keluar dari kamar mandi. Berjalan lebih tenang menuju ruang rapat. Entah apa yang sekarang dalam benaknya. Dia menuju ke tempat tadi dia duduk, pojok sebelah kiri. Dan kembali seperti tadi, duduk diam. Entah apa yang dia pikirkan.
EmoticonEmoticon