Wajahnya gelisah. Hampir tak ada senyum di bibir. Seluruh beban wajahnya terarik gravitasi bumi. Termasuk juga bibirnya. Dia tak bisa menikmati suasana sore ini. Beberapa kali dia meninggalkan ruang rapat. Mondar mandir tidak jelas. Mungkin sebagian orang tidak tahu apa yang terjadi pada Wanita paruh baya itu. Tapi aku yang duduk tepat di sampingnya, bisa merasakan aura kegelisahannya. Aroma kekalahan menguar jelas dari ekspresi wajah. Urusan ini, mungkin aku jauh lebih paham. Aku sudah berkali-kali jadi pencundang di tempat ini. Sudah terlampau biasa untuk sekedar menjadi bahan tertawaan dan cemoohan. Tapi baru sekali ini, di tempat ini aku menemukan orang yang bernasib sama sepertiku. Buruk!
Wanita paruh baya itu menanti antrian untuk membacakan hasil kerjanya sebagai kepala cabang. Karena berada di tempat duduk yang paling pojok, dia pojok kiri dan aku pojok kanan, kami masih bisa menenang-nenangkan hati yang berdegup tak keruan. Ekspresi wajahku tak beda jauh dengan ibu itu. (Mungkin). Karena aku bisa menangkapnya dari pantulan dinding kaca di sampingku. Berkali-kali wanita itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Wajahnya terlihat semakin tegang ketika urutan semakin menuju ke belakang. Menuju tempat kami duduk. Dan memang ini hanya urusan waktu, pada akhirnya kami harus bicara juga. Tak ada yang bisa menyelematkan kami kecuali kami meninggalkan forum “busuk” ini.
Aku sedikit tertolong dengan keadaan. Teman-teman yang duduk di depanku sesekali mengajakku bercerita. Meski tak bisa membuat aku rileks, setidaknya obrolan itu sejenak membuat aku abai dan tidak melulu berfokus pada rapat sore ini. Sementara wanita itu? Ah, apa yang harus kubilang. Dia sendirian, duduk di pojokan menanti waktunya tiba. Layaknya pesakitan yang menanti vonish dari hakim.
Sepertinya puluhan orang disini tak ada yang perduli dengan keberadaannya. Mereka asyik dengan rapat sore ini. Larut dalam euphoria pencapaian-pencapian kerja mereka. Sembari berdebar, menantikan siapakah yang akan mendapatkan reward atas prestasi yang di dapat. Wanita itu, dan juga aku, jelas tak berpikir kami masuk dalam salah satu orang yang mendapatkan rewards. Kecuali kalau memang dibuatkan reward khusus untuk orang yang pencapaian kerjanya paling buruk. Dan rasanya itu sangat tidak mungkin.
Aku tidak suka rapat. Terlebih rapat dalam forum yang sekarang ini. Jujur aku jengah! Hanya seperti ini-seperti ini saja. Terlalu banyak bicara, sementara realisasinya nol besar. Kalau pun ada, pada akhirnya setiap individu dituntut berinovasi sendiri. Tidak ada proses pembimbingan dan pendampingan. Tak ada proses pengarahan untuk kinerja tim yang lebih baik. Tak ada! Dan, hasil akhirnya tentu sudah bisa ditebak, yang tinggi semakin tinggi, yang bawah semakin terpuruk saja.
Rapat-rapat seperti ini hanya sekadar formalitas saja. Tidak lebih. Sekedar menunaikan tugas masing-masing. Perkara yang lain terseok-seok menjalankan tugasnya, itu bukan urusan. Bodo amat. Prinsip yang dianut adalah, selama kerjaan gw beres, persetan dengan orang lain. Bisa dimaklumi memang, Jakarta memang tak jauh-jauh dari aroma nafsi-nafsi. Asal tidak menganggu urusan yang lain, lu nggak bakalan di colek.
Urutan semakin ke belakang. Wanita itu semakin gelisah dengan berkali-kali lipat lebih parah. Wajahnya hampir menangis. Dan akhirnya urutan tiba juga padanya, satu urutan yang pada akhirnya aku juga harus membacakan laporan kerja yang kubawa, kudengar suaranya bergetar membacakan. Menahan rasa malu dan menghindar dari terkaman tatapan mata peserta rapat yang menatap sinis, dia hanya menunduk sambil terus membaca laporan. Aku mengenali mata-mata peserta yang menatap heran, ada juga yang menatap merendahkan. Kesombongan yang luar biasa.
Wanita setengah baya itu buru-buru membacakan laporan. Tak ingin berlama-lama menjadi pusat perhatian. Dan dalam hati, sepertinya dia tidak ingin terlalu lama juga diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. Dia memilih duduk diam seperti tadi, dan bila diperkenankan, dia tentu akan memilih untuk tidak bergabung pada rapat sore ini. Sayang, dia seperti tak ada pilihan. Pilihannya hanya pilihan tunggal, bacakan laporanmu. Makanya, dia bergegas membacakan laporannya. Agar segera terbebas dari ketidaknyamanannya.
Ah, aku sudah terlalu sering seperti itu. Dan sehabis ini pun, giliranku lagi, yang untuk kesekian kalinya mengalami hal seperti ini. Kalau ada yang menanyakan apa aku nggak bosan, tentu dengan lantang aku akan bilang, dan wanita setengah baya itu juga pasti akan bilang “GW BOSEN JADI LOSER!”
Karena, kalau kalian tahu rasanya, sungguh, kondisi seperti ini amat sangat menyakitkan. Melukai harga diri, memangkas habis rasa percaya diri.
Maka sore itu, dengan cermat kurekam wajah-wajah mencemooh itu, kuperhatikan satu per satu, entah mereka menyadari atau tidak, kutanamkan dalam hati dan kuteriakkan keras-keras di hati gw, “GW JUGA BISA!!!”. Suatu saat nanti, aku juga akan tersenyum, bukan kalian saja. Sweet Revenge!!!
EmoticonEmoticon