Apa katanya dulu? “Kalau kamu gelisah dan merasa tidak nyaman, mungkin saja memang kamu yang salah?”. Dulu aku tidak setuju dengan pendapat ini. Aku mencari-cari alasan, sebisa mungkin aku mematahkan pendapatnya dengan argumen-argumen. Meski aku tahu hasil akhirnya akan seperti apa. Tentu saja dia yang akan menang dan aku yang kalah. Tapi tak mau aku menyerah begitu saja. “Belum tentu dong, kalau memang benar aku yang salah, pasti aku sudah minta maaf dari kemarin-kemarin?”. Aku ngotot. Hanya Itu modalku. Dia tersenyum, ingin bicara tapi urung. Sepertinya dia tak ingin berdebat terlalu panjang. Tapi sebelum dia pamit pulang, dia sempat berujar, “karena kamu gengsi, makanya kamu tidak mau minta maaf”.
Itu beberapa tahun yang lalu, saat dia ada dia disini. Tapi hari ini, ketika aku kembali merasa gelisah dan tak nyaman, benarkah lagi-lagi aku yang salah? Hari ini, tak ada lagi dia disini. Entah dimana dia sekarang. Jauh. Teramat jauh. Kalau pun aku tahu dimana tempatnya, aku malu untuk menemuinya. Dia yang begitu baik, tak pernah menyakitiku, dengan begitu kejam telah aku buat terluka. Luka dengan bekas yang dalam. Entah lah. Pasti dia pergi dengan darah yang menetes-netes. Tak mungkin aku bisa bertanya lagi padanya, dan dia pun sepertinya akan enggan menjawab pertanyaan-pertanyaanku lagi.
Sebulan setelah kepergiannya, aku masih menerima paket-paket bunga dengan bait-biat puisi terselip diantaranya. Aku tak mengenali puisi itu, bukan karya Kahlil Gibran, bukan pula Sapardi, tapi sepertinya bukan puisinya juga. Karena tak pernah dia menuliskan kalimat-kalimat yang seperti itu. kalimat-kalimatnya dulu adalah nafas kehidupan, bintang hidupnya adalah tentang keindahan, bukan kehilangan, luka dan air mata. Atau karena luka yang menorah itu memang sudah terlalu dalam, hingga tak ada lagi bintang hidupnya yang dulu.
Sebulan setelah itu, benar-benar tidak ada lagi tentang dia dalam hidupku. Dan aku pun tak berusaha mencarinya, mencari tahu kabarnya. Pikirku, memang lebih baik begitu. Meski sebenarnya, ada bagian hilang yang mulai kurasakan. Tapi tak pernah kuungkapkan.
Dua bulan setelah itu, dia benar-benar pergi. Pagi-pagi, dengan kereta dia pergi entah kemana. Seorang teman mengabarkan padaku, kalau-kalau aku mau mencegahnya atau mau mengatakan sesuatu. Aku hanya menggeleng. Tak ada yang perlu dicegah, tak ada pula yang perlu dibicarakan lagi. Semua memang sudah selesai. Sejak pagi itu, sempurna dia pergi dari hidupku. Dan sempurna juga ruang kosong dalam hatiku.
Dan hari ini, baiknya kutanyakan pada siapa gelisahku ini? Atau harus kutunggu keretamu kembali? Itu pun kalau kembali. Atau kuabaikan saja pertanyaan ini, sama seperti pertanyaan-pertanyaanku yang lalu.
EmoticonEmoticon