Kembali menulis di pagi ini. Meskipun cuma curhat-curhat yang tidak jelas, tak mengapa lah. Paling tidak aku konsisten menulis. Ibarat motor, tiap hari harus dipanasin. Biar kata cuma nulis uneg-uneg yang nggak jelas. Biar nggak nge-drop kalau disuruh bener-bener nulis (padahal nggak pernah nulis bener). Hihi.
Masih dengan tema benci. Menyambung tema tadi malam. hemmmm. Entah kenapa, aku ingin memulai semua ini dengan rasa benci yang sebenci-bencinya. Mungkin aneh buat orang-orang. kenapa juga harus ada rasa benci? Ya, sedikit banyak aku terkontaminasi ide-ide dan pemikiran Darwis Tere Liye. Dari membaca buku-bukunya, notes-notes di facebooknya, ataupun di multiply-nya Darwis Tere Liye. Terserah orang mau bilang aku nggak punya prinsip, generasi pengekor. Karena menurutku, apa salahnya mengekor kalau memang yang kita ikutin itu bener. Memang siapa panutan kita? Nabi Muhammad bukan? Dan memang harus kita mengekor beliau. Tidak perlu membuat trend sendiri-sendiri. Jadi ya, intinya kalau memang yang kita contoh itu benar, kenapa engga’? pada waktunya nanti, ketika aku sudah menemukan apa yang menjadi prinsipku, aku bisa berkata, seperti ini lah aku. Tapi selama aku masih mencari, tak mengapa berpegang pada prinsip yang menurut pandanganku itu benar.
Hah. Kenapa dimulai dari benci? Karena rasa benci akan membuat kita menjauhinya sejauh-jauhnya. Pernah kah kalian membenci seseorang? Seperti itulah rasanya. Muak melihatnya, jengah dengan segala perkataanya, dan tidak mau tahu sedikitpun segala hal tentang dirinya. Tapi sabar, ini bukan benci pada makhluk. Ada mungkin, tapi itu malah benci pada diriku sendiri.
Jadi begini, konsep ini menurutku bagus sekali. Tangan dan mulut kita belum punya banyak tenanga untuk merubah keadaan. Tapi, hati kita masih bisa membenci dengan sebenci-bencinya bukan? Minimal, lakukan dulu itu.
Aku benci pada sifatku yang malas-malasan dan tidak bisa bangun pagi untuk tahajud. Benci diriku yang lupa untuk jamaah. Benci diriku yang hingga usia 23 tahun masih belum berfikir tentang dakwah. Benci dengan diriku, pada usia yang sudah lewat sepertiga usia nabi, tapi masih berakhalak sangat buruk sekali. Buat apa sholat itu? buat apa bacaaan menyentuh hati itu? buat apa semua itu? Harusnya, segala yang kita serap itu berdampak dalam kehidupan kita. Pengamalan, itu point pentingya. Tanpa itu, sama saja, NOTHING. Percuma baca buku tentang kebaikan segala macam kalau kenyataannya perilakunya lebih bengis daripada hewan buas. Benci pada diriku yang mempunyai rasa takut tidak pada tempatnya. Takut itu pada Alloh. Titik. Tidak ada yang patut ditakutkan selain Alloh. Dan takut pada Alloh tentunya membawa konsekwensi dalam kehidupan kita. Pernah denger ini “Takut pada hewan buas kita menjauhinya, tapi takut pada Alloh, kita harus semakin mendekatiNya”. Artinya begini, jadi kalau memang dalam hati kita benar-benar menyimpan takut ini pada Alloh saja, tentu kita akan menjadi semakin dekat padaNya. Bagaimana cara mendekat itu? ya lakukan segala perintahNya dan jauhi segala laranganNya. Tidak sampai disitu saja. lakukan sesuatu yang lebih. Tidak hanya yang wajib, tapi yang sunnah juga. Ah ya, benar bukan?
Masih banyak Pe-Er tentang benci membenci ini. Tentang rasa takut dengan pemahaman yang benar. Karena hal ini memang sering membuat hati ketar-ketir. Dikarenakan rasa takut yang salah. Tidak ada itu namanya takut nanti makan apa. Yang ngasih gaji kita itu Alloh, siapapun perantaranya, tapi sejatinya yang ngasih itu Alloh. Jadi kenapa harus takut? Mungknkah Alloh dzolim?
Sepagi ini, banyak hal yang masih harus aku pelajari. Prinsip tentang rasa takut, tentang rasa benci. Dan segala hal yang bercabang dari itu semua.
Ya Alloh, pagi ini, aku mohon, limpahkanlah kebaikan kepada segenap kaum muslimin-muslimat. Semoga kami dapat bersatu pada dalam mengharap ridho dan cintaMu…
EmoticonEmoticon