Pfiufffffhhhhh,,,,
Ngantuk, cape’, lengket karena belum mandi, pegel-pegel, semuanya berkumpul jadi satu. Mata juga sudah terasa berat. Tapi tak mengapa lah. Setidaknya UAS hari ini berjalan tidak terlalu melenceng dari yang diharapkan. Kalau dibilang lurus, ya nggak lurus-lurus amat. Masih jauh dari yang diharapkan. Lha wong begadang buat belajar sama begadang buat fesbukan lebih kuatan begadang buat fesbukan. Hehehe.
Mata kuliah perancangan sistem berbasis objek, lewatttt. Hehehe. Anggep aja gitu. Selesai lah. Banyak yang keluar dari apa yang aku baca semalem. Lagi dosennya begitu amat. Sesat dan sok baik hati. Cuh! Bukannya aku sok alim. Engga’. Tentu aku tahu lah seperti apa aku ini. Tapi sungguh, dosen yang tadi ngawasin aku UAS bener-bener ngenekin.
Kalau di bangku kuliah aja udah seperti ini, nggak tahu bakal seperti apa nantinya kalau jadi orang-orang yang diamanahi tampuk kekuasaan. Rusak. Bener-bener rusak. Aku memang belum punya power untuk merubahnya dengan tangan, atau mengigatkan dengan mulut, tapi setidaknya, dalam hati ini aku membenci dengan sebenci-bencinya.
Hahhhh. Ada begitu, seorang pendidik, dengan entengnya bilang kepada mahasiswanya “Buka buku saja, tidak masalah. Asalkan, kalian jangan berisik”. OK. Sudah. Aku pikir itu hanya bercandaan dosen. Pencair suasana, agar kami tidak terlalu tegang mengerjakan soal UAS. Tapi buruk, sangat buruk. Rupanya teman-temanku yang duduk di belakang sudah dengan sigap membuka buku. Mengorek-ngorek jawaban dari soal UAS. Astaga!!! Parahnya lagi, dosen yang tadi aku pikir cuma bercanda, membiarkan saja teman-temanku ini membuka buku. OK, ini sudah keterlaluan. Mau jadi apa kami nanti? Harusnya dia mikir itu. Generasi yang sangat buruk kalau pun kami jadi orang yang sukses. Bukan karena aku tidak bisa mencontek seperti yang lain. Tidak. Bukan itu. tidak penting bagiku bisa moncontek atau tidak. Tapi, proses pembiaran dosen ini merupakan kejahatan yang tak terasa. Dampaknya nanti aku terbawa ke dalam kehidupan kami kelak. Kami akan terbiasa dengan kebohongan-kebohongan dan pembiaran-pembiaran. Nanti, saat kami membesarkan anak-anak kami, kami akan mencontoh pembiaran-pembiaran itu. AHHHHHH!!!!
Dan ini yang buruk. Setelah aku menyelesaikan sholat maghrib berjamaaah dengan kawan-kawanku, aku kembali ke kelas, untuk UAS mata kuliah yang kedua. Belum juga sampai di lantai empat, aku berpapasan dengan salah satu teman yang baru turun dari atas, dan dengan entengnya menodong kami (aku dan teman yang baru selesai sholat maghirb) meminta patungan uang. “Uang apa?” tanya temanku. “Uang patungan beli pulsa buat dosen yang tadi?”
Dharrrrr. Ini sudah tidak benar. Baru kemarin kita mendengar kasus tentang kasus nyontek berjamaah. Kita terlarut dalam emosi. Berkata dengan lantang kalau semua itu tidak benar. Harusnya yang berani bicara itu kita bela, bukan malah di usir. Mulut kita sudah berbusa-busa mengatakan petuah-petuah bijak, layakanya kita ini orang suci saja. Seakan rasa keadilan kita teriris-iris. Prihatin dengan kondisi bangsa yang miskin moral.
Tapi coba sejenak kau tengok, Kawan. di dalam kelas kita tadi, transaksi yang di Surabaya kita bilang miskin moral itu kembali terulang. Bedanya, disini tidak ada pihak yang merasa tertekan. Pihak yang satu memberi jalan, sementara pihak lainnya mengaminkan. Menikmati fasilitas jahat yang sudah disediakan. Berucap terimakasih atas kebaikannya. Berbondong-bondong membelikan pulsa, seolah kita itu berhutang budi. Heyyyyy! Sadar nggak kalian. Itu sama-sama busuknya. Kita dan dosen yang tadi memberi celah kita berbuat jahat, telah dengan sadar berjamaah membuat maker kejahatan. Makar ini tidak berdampak luas pada orang di luar kita. Tapi pada generasi penerus kita, anak-anak kita. Betapa ternyata memang benar kita itu miskin moral.
Kita tidak pernah ketinggalan sholat lima waktu. Benar. Tapi seperti ini kah produk dari sholat lima waktu itu? Ridhokah Alloh pada apa yang kita lakukan tadi.
Kalau saja ada yang membaca tulisan ini, pasti mereka akan langsung men-judge aku sok lurus dan sok idealis. Hemmm. No, no, no. aku juga masih belajar untuk benar-benar mempunyai akhlak yang baik kok. Tapi saat aku menyadari semua ini, kenapa tidak aku lakukan dengan maksimal, upaya memperbaiki diri ini. Upaya memperbaiki akhlak.
Hahhhhh. Ngantuk.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon