Bahkan seorang pemabuk adalah guru bagiku, ketika dia nyungsep, ngajarin aku untuk jangan kayak dia -Surayah-
Saya bukan orang yang dibesarkan dalam hal-hal seremonial. Ada memang beberapa seremoni (dalam kehidupan saya), tapi itu lebih karena sudah tradisi di dalam lingkungan yang saya tinggali. Seperti misalnya kenduri, nyadran, ruwah atau seremoni sejenis, yang sudah hadir entah sejak kapan.
Selebihnya, hidup ya mengalir saja. Kemana angin berhembus, air mengalir. Tak menentang badai, menghadang arus. Ikuti saja. Begitulah kurang lebih.
Maka ketika bangku sekolah menengah pertama mengenalkan saya pada gegap gempita seremoni, saya jadi orang yang nggumunan. Terkaget-kaget. Tiba-tiba ada hari ini, hari itu, yang semua dirayakan dengan meriah. Terkadang juga upacara bendera. Padahal dibangku sekolah dasar, upacara bendera saya paling ya upacara hari senin sama upacara Hari Kemerdekaan (setidaknya, begitulah sependek yang saya ingat).
Dan hari ini, ketika di medsos bertebaran ucapan selamat pada para bapak-ibu guru oleh teman-teman di dunia maya, kita harus mafhum, inilah harinya, Hari Guru Nasional. Hari untuk menghormati beliau-beliau Pahlawan yang tanpa tanda jasa. Harus maklum juga, penghormatan sehari untuk guru tentu saja hanya sebuah simbol. Seremonial. Di luar 25 November, tentu kita harus tetap selalu takzim pada beliau-beliau,bapak-ibu guru kita.
Seperti saya yang nggumunan dengan seremonial, yang boleh kita ikuti arusnya, larut dalam hiruk pikuk, namun engga juga ndak masalah, kita harus tahu, bahwa guru adalah apa-apa yang telah mengajarkan kita tentang hal-hal baru. Bahkan seorang pemabuk adalah guru bagiku, ketika dia nyungsep, ngajarin aku untuk jangan kayak dia, begitu kata Pidi Baiq.
Mari berterimakasih, kepada segala Guru yang telah mengajarkan kita banyak hal. Dan mari terus selalu, menajalani hidup dengan rasa senang dan penuh dengan penghargaan kepada semua Guru-Guru dalam hidup kita.
Adios permios
***
Sumber gambar : google
EmoticonEmoticon