Hari-hari ini, di media sedang hangat memperbincangkan kedatangan saudara kembar saya dari Amerika. Dia datang bersama klub dimana beberapa musim ini dia merumput : LA Galaxy. Tahu kan? Pemain timnas Inggris yang sudah melanglang buana di daratan Eropa, bermain di klub-klub raksasa. Yah, dia adalah : DAVID BECKHAM!
Ya, ya, ya! Saya tahu pasti anda sekarang sedang ngomel-ngomel, tidak terima dengan fakta ini. Tapi begitulah kenyataannya. Di terima saja lah. :p
SEPAKBOLA!!!
Di negeri ini, di tengah carut-marutnya segala sistem (berdasarkan informasi yang saya dapat dari media), sepakbola menjadi magnet yang sangat kaut bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Tidak percaya? Marilah kita mundur ke belakang sedikit. Masih ingat Sea Games yang digelar beberapa waktu lalu? Dari beratus cabang yang dipertandingkan, sepakbola mendapat tempat tersendiri di hati warga Indonesia. Mendapat sambutan yang paling meriah.
*diluar hujan*
Mari kita lanjut. Tim yang diturunkan untuk ajang Sea Games ini adalah TIMNAS GARUDA MUDA U-23. Awalnya, tidak banyak yang memperhatikan tim ini. Saya lihat dipertandingan-pertandingan awal, ketika tim garuda main, bangku penonton tidak terisi penuh. Gemuruh dukungan juga tidak terdengar seperti ketika timnas senior bermain di penyisihan piala dunia.
Tepatnya kapan saya lupa, tapi yang saya ingat adalah ketika timnas senior dihajar dengan skor 4-1 oleh Iran, dukungan kepada timnas garuda muda mulai membeludak. Rasa kecewa mereka (yang begitu serang dirasakan), akhirnya membuat pendukung memutar haluan ke timnas garuda muda. Permainan mereka yang sangat energik, mencuri perhatian publik Indonesia. Lihatlah para punggawa muda dari papua seperti Okto, Wanggai atau Titus Bonai. Atau pemain naturalisasi Diego Michiles, yang menjadi idola baru setelah era Irfan Bachdim. Mereka memberikan permainan yang atraktif dan membuat kita berdecak kagum, inilah masa depan persepakbolaan Indonesia.
Sepakbola, seperti menjadi pemersatu segala perbedaan yang ada di negara kita ini. Warna kulit, bahasa dan asal daerah seperti melebur menjadi satu identitas saja : INDONESIA. Disini saya tidak hanya berujar omong kosong. Karena di ajang Sea Games kemarin, saya menjadi saksi kemenangan sekaligus saksi kekalahan timnas garuda muda di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Laga yang saya nantikan adalah laga di penyisihan grup yang mempertemukan Indonesia dengan Malaysia. Ini laga yang sangat panas. Bahkan ada teman yang berujar kepada saya, ini bukan hanya sekedar menang kalah, tapi ini tentang harga diri. Meskipun nantinya menang atau kalah Indonesia akan tetap lolos ke babak berikutnya, tapi sebuah kemenangan indah sudah dinanti-nantikan publik pecinta sepakbola di Indonesia. Hari itu, saya rela bolos kuliah demi menyaksiakan pertandingan ini. Ekspektasi yang tinggi ditujukan kepada timnas garuda muda. Maklum, selama tiga pertandingan sebelumnya, Indonesia selalu memenangi pertandingan dengan bagus. Salah satunya adalah melibas tim kuat Asia Tenggara, Thailand, dengan skor yang memuaskan : 3-1. Jadi wajar, bila publik berharap banyak.
Jam lima sore di GBK sudah begitu riuh. Kendaraan mengantri untuk memasuki area gelora bung karno. Penjaja souvenir berjajar di jalur pejalan kaki. Ada yang menjual kaos dengan berbagai model, syal, sticker, topi dan pernak-pernik lainnya. Penjaja makanan dan minuman, yang hari itu kebanyakan berkaos timnas garuda muda, tidak ketinggalan ikut memeriahkan sore hari itu. Saya menyempatkan mencari kaos timnas garuda. Karena hari itu saya salah kostum, mengenakan kaos bola berwarna biru ala Lazio. Itu karena memang saya tidak punya kaos timnas. Setelah tawar menawar-akhirnya saya mendapatkan kaosnya dengan harga 20ribu. Lumayan, daripada saya salah kostum! Hehe.
Dan ini yang sempat membuat saya jengkel : TIKET. Setelah membeli kaos, saya langsung menuju ke loket pemebelian tiket, yang berada di sebelah pintu masuk. Antrian sudah mengular panjang. Saya berdesakan-desakan dengan orang di samping kanan-kiri dan depan belakang. Semua berebut untuk segera maju di urutan depan. Padahal, waktu itu loket masih tutup. Mau didorong seperti apa, antrian tidak akan berkurang. Setelah berdiri setengah jam lebih, berpeluh ria dan berdorong-dorongan, orang-orang mulai tidak sabar. Ada yang berteriak-teriak minta dibuka. Ada juga yang memprovokasi untuk didobrak saja loketnya. Sementara dari pihak panitia tidak memberikan kejelesan, tiket masih ada atau tidak. Teman saya yang mengantri bersama saya akhirnya keluar barisan.
“Rugi! Capek doang ini mah. Tiket paling juga udah abis!!!”
“Kalau masih ada gimana???”
“Kalau sudah abis gimana???”
Sementara teman saya keluar barisan, saya masih setia mengantri. Siapa tahu sebentar lagi tiket dibuka. Saya masih berpositif thinking. Tapi hampir satu jam saya berdiri, berpeluh ria dan berdorong-dorongan, belum juga ada penjelasan dari pihak panitia. Masih abu-abu. Teriakan semakin sering terdengar dari arah belakang saya.
“Woiiii, yang depan bilang dong. Masih ada tiket ngga’? Kalau udah abis kita bubar. Biar ngga’ cape dorong-dorongan begini”
“Buka, buka, buka, buka, buka!!!”
“Dobrak, dobrak, dobrak, dobrak!!!”
Entah sudah berapa lama berdiri, akhirnya dari pihak panitia mengumumkan kalau tiketnya habis. PARAH! Bukannya inisiatif dari awal dijelaskan kalau tiket habis, biar nggak terjadi antrian, ini malah diumukan detik-detik menjelang pertandingan di mulai. Ah, menyebalkan bukan? Begitulah keadaannya, ditengah besarnya support untuk timnas kita, pengelolaan pertandingan dan pengelolaan kompetisi sepakbola di negara kita masih kacau-balau. Ditumpangi berbagai macam kepentingan.
Tidak ada jalan lain lagi. Pilihan terakhir adalah calo. Tapi entah kenapa, tiket tribun untuk hari itu sudah terjual habis. Tersisa tiket kelas 1-kelas 2 yang harganya dipatok oleh caloh tiga ratus ribuan ke atas. Temen saya bilang “Mendingan duit segitu buat beli tiket balik ke kampung”. Dan saya bingung. Lontang-lantung bareng banyak orang yang juga kehabisan tiket. Hasrat saya begtitu menggebu mendukung timnas, tapi apa daya, calo merajalela.
Di dekat pintu masuk, tempat pengecekan tiket, saya melihat orang-orang mencari tiket ke orang-orang yang sudah masuk. Mereka berharap, tiket yang belum disobek di tempat pengecekan tiket, bisa dijual lagi ke mereka. Terpaksa, saya ikut-ikutan rombongan itu. Berdiri di depan pagar pembatas, dan mengamati seperti apa prosesnya. Ada satu orang yang menawarkan tiket yang belum disobek seharga 50ribu. Saya tertartik juga sebenarnya.
“Ada dua ngga’?”
“Adanya satu doang, kalau mau ambil nih. Gocap!”
“Ngga’ ah, gw kan dua orang, bang!”
“Nggak mau ya udah!!!”
Saya tetap berjuang mencari tiket. Ada suatu bapak menawarkan dengan tergesa-gesa kepada saya dua buah tiket.
“Lima puluh ribu nih, dua! Kalau mau buruan. Cepet!!!”
Saya buru-buru mengeluarkan uang limapuluh ribuan. Meraih tiket dan bapak itu segera berlari. Tapi naas. Ternyata dua tiket itu sudah dipotong bagian ujungnya.
“Kampret!!! Gw ketipu”
Saya geleng-geleng. Emosi. Kalau saja sampai ketemu orangnya, langsung saya hajar di tempat. Temen saya hanya memandangi bingung. Orang-orang memandang kasihan ke kami berdua. Saya juga tidak bisa komplain.
Untuk bisa menjadi mereka, kita memang harus total. Jangan setengah-setengah. Itu yang saya simpulkan. Dan saya memutuskan untuk menjadi bagian dari mereka. Peluang itu ada di depan pintu masuk. Dengan bermodal tiket yang sudah di potong, saya dan teman saya ikut mengantri. Memaksa masuk dan belajar berkelit di antara ratusan manusia yang berdorong-dorongan. Sukses! Ratusan orang itu berhasil menyelamatkan saya. Saya masuk dengan tiket yang sudah terpotong, dan lolos dari pemeriksaan. Saya dan teman saya hanya nyengir, haha. Beginilah rasanya nonton bola dengan cara yang salah. Sedikit dongkol kepada orang yang menipu saya masih tersisa, tapi tak mengapa lah. Saya berhasil masuk. Ini bisa dijadikan catatan kenakalan di masa muda. :)
Seperti apa atmosfer di dalam stadion? Tak bisa saya gambarkan teman-teman. Menyaksikan lagu Indonesia Raya dinyanyikan di televisi secara koor saja sudah membuat saya merinding, apalagi saat itu saya turut serta koor menyanyikannya di stadion. Amazing kalau kata Tukul Arwana. Kami bernyanyi, berjoget, berteriak-teriak, dengan hanya ada satu identitas : INDONESIA. Berbagai macam orang disana, semua meneriakkan kata INDONESIA. Seluruh stadion banjir dengan warna merah. Yahhh, meski teman-teman tahu kan, seperti apa endingnya waktu itu? Kita kalah 1-0 dari Malaysia. Di dalam stadion, sebelum saya pulang, saya menunjuk ke tengah lapangan dan berujar “Malaysia, kami balas di final!!!”
Tak mengapa, di babak semifinal melawan Vietnam, kembali saya menuju ke GBK. Meskipun kemarin kalah dari Malaysia, aliran dukungan tetap begitu banyak kepada timnas garuda muda. Satu spanduk di dalam stadion membuat saya tersenyum “Kami siap ke Final!”. Bahkan sempat menjadi trending topic juga di twitter, “Goodbye Vietnam, welcome Malaysia”. Dan pertandingan hari itu benar-benar membuat seisi stadion bersorak sorai. Seusai pertandingan, saya mengirim pesan pendek ke beberapa teman dekat saya “GBK meledak, dengan kebahagiaan dan kegembiraan”.
Final : INDONESIA vs MALAYSIA
Pertandingan super panas. Ajang bergengsi dan ajang balas dendam. Lagi-lagi saya menjadi bagian dari supporter timnas merah-putih. Hanya saja, kali ini stadion lebih riuh. Baru memasuki gerbang GBK, terdengar begitu gemuruhnya suara stadion. Saya jadi merinding sendiri. Supporter kita memang supporter fanatik.
Dan kembali lagi, hanya ada satu identitas di stadion : INDONESIA. Sejenak mereka melupakan urusan pribadi. Supporter sepakbola lokal pun saling berangkulan, melupakan sejenak persaingan klub-klub yang mereka dukung. Hari itu hanya ada satu nama yang akan diteriakan: INDONESIA.
Tiket, lagi-lagi menjadi masalah yang rumit. Bahkan sempat terjadi pembakaran loket oleh beberapa oknum, karena mereka kecewa tidak mendapatkan tiket. Calo panen. Mau tidak mau orang-orang yang kehabisan tiket harus membelinya di calo. Dan saya salah satunya. Dua tiket sudah saya pesan kepada teman saya yang berangkat lebih dahulu dan membeli tiket di calo. Tapi karena saking crowdednya, sekedar untuk menuju sektor 24, tempat saya janjian sama temen saya, begitu sulit. Belum lagi alat komunikasi tidak bisa digunakan. Telpon atau pun sms tidak bisa dilakukan. Padahal pulsa masih berkecukupan. Hari itu, lagi final tidak saya nikmati langsung di dalam stadion, tapi di layar-layar lebar di luar arena stadion yang memang sengaja dipasang oleh pihak panitia.
Dan ending ceritanya teman-teman juga tahu sendiri kan? Tragedi tendangan sebelas pas yang memaksa timnas garuda muda hanya mendapatkan medali perak. Bahkan pertandingan hari itu harus merenggut dua korban jiwa dari supporter kita.
Saya bermimpi, andaikan persepakbolaan kita di kelola dengan benar oleh orang-orang yang benar-benar peduli. Bukan karena ada tujuan lain. Itu bisa menjadi alat pemersatu kita, satu identitas kita : INDONESIA.
Masih banyak PR untuk PSSI yang baru kemarin melakukan reformasi. Atau revolusi? Tapi masih saja ada masalah yang tak kunjung diselesaikan.
Calo, tawuran supporter, korban jiwa, penyelenggaran yang kurang baik dan segala permasalahan lainnya!
AYO INDONESIA BISA!!!
Kita nantikan besok, pertandingan Timnas Indonesia Selection vs LA Galaxy. Saya cukup mendukung dari layar TV saja.
EmoticonEmoticon